twitter
rss


BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK
Oleh :
Upik Khoirul Abidin

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Mesdiskusikan masalah-masalah teori belajar memang tidak pernah membesankan, terutama bagi akademisi pendidikan, sebab dunia pendidikan senantiasa berkembang seiring kemajuan jaman. Namun ketika kita membahas tentang pendidikan, tentu tidak bisa lepas dari kata “belajar’. Belajar merupakan salah satu kata kunci dalam dunia pendidikan.belajar juga merupakan sebuah proses bagi manusia (secara khusus) dan makhluk Tuhan lainnya untuk menjadikan diri menjadi organisme yang lebih baih dari sebelumnya (berkembang). Jadi tidak heran jika banyak tokoh-tokoh yang menghibahkan pikiran, tegana,  waktu, dan lain-lain untuk melakukan penelitian tentang proses terjadinya belajar atau yang kami maksud dengan teori belajar.

Mempelajari teori belajar menjadi keharusan bagi akademisi pendidikan, sebab teori belajar tersebut merupakan ilmu dasar dalam mempelajari proses belajar. Di dalamnya, kita tidak hanya mengetahui aliran-aliran teori belajar[1], tokoh-tokohnya[2], cara melakukan penetiannya, dll, lebih luas kita bisa mempelajari atau mengetahui bagaimana organisme dalam menerima pengetahuan atau merespon hal-hal baru yang berkaitan baik dengan dirinya (tingkah laku) atau yang berkaitan dengan bagaimana organisme memecahkan masalah-maslah yang dihadapinya.
Salah satu dari beberapa aliran atau teori belajar adalah teori belajar kronstruktivistik yang lebih lanjut menjadi pembahasan makalah ini. Sebelum memasuki pembahasan lebih mendalam, sebenarnya konstruktivisme sangat berbeda dengan teori-teori belajar lainnya karena konstruktivisme lebih tepatnya merupakan sebuah epistemologi.

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Teori Belajar Konstruktivistik
Belajar merupan peristiwa sehari-hari di sekolah dan merupakan hal yang kompleks. Kompleksitas tersebut dapat kita lihat dari dua subyek, yaitu siswa dan guru. Dari segi siswa, belajar dialami sebagai proses, proses mental dalam menghadapi bahan pelajaran. Sedangkan dari segi guru, proses belajar tersebut tampak sebagai perilaku belajar tentang sesuatu hal, maka dari sini kiranya baik siswa maupun guru sangat berkaitan atau mempengaruhi. Dalam peranannya guru dituntut untuk lebih kreatif dalam pengajarannya. Salah satunya dengan memahami dari berbagai teori belajar, seperti teori yang akan dibahas pada makalah ini (teori konstruktivistik)[3].
 Untuk memudahkan pemahaman tentang teori belajar konstruktivistik, di awal pembahasan ini akan dipaparkan dialog antara guru dan siswa saat proses belajar sedang berlangsung.
Digambar dalam sebuah pelajaran matematika kelas satu sekolah dasar tentang pengukuran dan ekuivalensi, siswa diarahkan untuk menggunakan timbangan guna mengukur berapa banyak jumlah kaleng plastik yang beratnya sama dengan satu cincin emas. Diwaktu yang bersamaan, guru ternya memperhatikan salah satu murid yang kelihatan bersemangat dalam belajar dan mengambil kesempatan untuk membantunya, Agis namanya, dan untuk memulai membangun pemahaman dasar tentang rasio dan proporsi. (dan terjadilah dialog).
Guru     : berapa banyak kaleng plastik yang dibutuhkan supaya seimbang dengan satu cincin emas?
 Agis    : (setelah beberapa lama mencoba), Empat Bu.
Guru     : jika saya menaruh satu lagi cincin emas di tempat yang sama, berapa banyak lagi kaleng plastik yang dibutuhkan agar tetap seimbang?
Agis     :satu.
Guru     : cobalah.
Agis menaruh satu lagi kaleng plastik di atas nampan timbangan dan ia melihat bahwa timbangannya tidak seimbang. Ia terlihat bingung, lalu menaruh satu lagi di nampan timbangan, dan satu lagi kaleng plastik yang ke tiga. Masih belum seimbang ia menaruh lagi satu lagi disana. Akhirnya timbangannya seimbang, ia tersenyum dalam melihat ke arah gurunya.
Guru     : Berapa banyak kaleng plastik yang kita perlukan untuk menyeimbangkan satu cincin emas?
Agis     : Empat
Guru     : dan berapa banyak untuk dua cincin logam?
Agis     : (Menghitung) Delapan
Guru     : Jika saya menaruh satu lagi, berapa banyak lagi kaleng plastik yang kamu butuhkan agar timbangannya seimbang?
Agis     : (Berfikir dan melihat kearah gurunya dengan bingung bercampur senang) Empat
Guru     : Cobalah
Agis     : (Setelah berhasil menyeimbangkan timbangannya dengan empat kaleng).Tiap cincin emas sama dengan empat kaleng plastik.
Guru     : Sekarang saya akan memberikan pertanyaan yang sulit. Jika saya ambil empat  kaleng plastik dari timbangan ini, berapa banyak juga cincin emas yang harus saya ambil supaya timbangannya seimbang?
Agis     : Satu!

Dari dialog di atas telah menggambarkan adanya proses konstruktivistik dimana Konstruktivistik memiliki pengertian perspektif psikologis dan filosofis yang memandang bahwa masing-masing individu membentuk atau membangun sebagian besar dari apa yang mereka pelajari dan pahami. Kemunculan teori ini didorong oleh teori dan penelitian dalam ilmu perkembangan manusia, terutama teori-teori Piaget[4] dan Vygosky, sehingga ketika membahas teori konstruktivistik juga tidak terlebas bahasannya dengan teori Piaget dan Vygosky, namun pada makalah ini kedua teori tersebut tidak dijelaskan secara panjang lebar, karena sudah menjadi makalah sebelumnya kecuali teori Vygosky.
Pada dekade akhir-akhir ini sejumlah peneliti pembelajaran telah memfokuskan perhatiannya kepada siswa, tidak sekedar membahasa bagaimana pengetahuan diperoleh, melainkan bagaimana pengetahuan dibangun, sehingga apa yang mereka lakukan dan landasan-landasan teoritis yang mereka gunakan disebut sebagai  konstruktivistik (yang mengetengahkan bahwa siswa menciptakan pembelajaran mereka sendiri, bisa kita lihat dialog yang antara guru dengan agis)[5].
Konstruktivistik menolak dan mempertanyakan asumsi yang ditawarkan psikologi kognitif[6] tentang pembelajaran dan pembelajaran, penolakannya didasari bahwa menurutnya kegiatan berfikir terjadi dalam situasi-situasi dan bahwa kognisi sebagian besar dibangun oleh masing-masing individu sebagai fungsi dari pengalaman-pengalaman mereka dalam situasi-situasi tersebut.  Mereka memiliki asumsi-asumsi yang menurutnya lebih baik yang lebih menekankan kontribusi individu terhadap yang dipelajari dalam pembelajaran dan perkembangannya.
Asumsi utamanya adalah manusia merupakan siswa aktif yang mengembangkan pengetahuan bagi mereka sendiri. Untuk memahami materi dengan baik, siswa harus menemukan prinsip-prinsip dasar materi.namun sebagian para konstruktivis memiliki pandangan bahwa struktur-struktur mental hadir untuk mencerminkan realita, sementara bagian yang lain (konstruktivis-konstruktivis radikal) berpandangan bahwa dunia mental individu adalah stu-satunya realita. Namun, asumsi yang menyatakan bahwa siswa membangun pemahamannya sendiri dalam pembelajaran menjadi aspek epistemology konstruktivistik ini.
Asumsi berikutnya adalah, guru sebaiknya tidak mengajar dengan cara tradisional, melainkan guru seharusnya membangun situasi-situasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat terlibat secaraaktif dengan materi pelajaran melalui pengolahan materi-materi dan interaksi social. Dari sini terlihat bahwa aktivitas-aktivitas pembelajaran konstruktivis meliputi mengamati fenomena-fenomena, mengumpulkan data-data, merumuskan dan menguji hipotesis-hipotesis, dan bekerjasama dengan orang lain. Siswa diarahkan untuk mampu mengatur dirinya dan berperan aktif dalam pembelajaran mereka dengan menentukan tujuan-tujuan, memantau dan mengevaluasi kemajuan mereka, dan bertindak melampaui standar-standar yang disyaratkan bagi mereka dengan menelusuri hal-hal yang menjadi minat mereka.
Dari paparan di atas ini juga dapat disimpulkan bahwa pembelajran konstruktivistik adalah landasan berfikir pembelajaran konstektual yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konstek yang terbatas ( sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat akta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat, melainkan manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata[7].
            Perspektif-Perspektif Tentang Konstruktivistik
Pertama: Perspektif Eksogenus, dengan dasar pikiran bahwa penguasaan pengetahuan merepresentasikan sebuah konstruksi ulang dari dunia luar. Dunia memengaruhi keyakinan-keyakinan melalui pengalaman-pengalaman, pengamatan terhadap model-model, dan pengajaran. Pengetahuan dipandang akurat jika ia mencerminkan realitas eksternal. Kedua: Endogenous, menurut perspektif ini pengetahuan diperoleh dari pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya, tidak secara langsung dari interaksi-interaksi lingkungan. Pengetahuan bukanlah sebuah cermin dari dunia luar, pengetahuan itu berkembang melalui abstraksi kognitif. Ketiga: Dialektikal, pengetahuan diperoleh dari interaksi-interaksi antara oramg-orang dan lingkungan mereka. konstruksi-konstruksi atau interpretasi-interpretasi tidak selalu terikat dengan dunia luar ataupun keseluruhan kegiatan pemikiran. Pengetahuan mencerminkan hasil-hasil dari kontradiksi mental yang ditimbulkan dari interksi-interaksi seseorang dengan lingkungan.[8]
B.     Hakikat Manusia Masa Depan.
Manusia sebagai makhluk paling sempurna di antara makhluk ciptaan-Nya tentunya memiliki nilai lebih, yakni akal pikiran dan akal ini selaklu bergolak dan fikir[9]. Meskipun memiliki akal pikiran, manusia tidak bisa serta merta mampu memanfaat “keutamaannya” tersebut. Ia harus berusaha untuk memanfaatkan secara optimal anugerah itu, yakni melalui proses belajar.
Pada dasarnya manusia itu memiliki bebrapa hakekat, yakni pertama, manusia itu sebagai makhluk dwi tunggal, artinya anusia terdiri dari dua unsur, yaitu rohaniah dan jasmaniah. Kedua, manusia sebagai makhluk individu dan social, sabagai individu, ia mempunyai sifat-sifat yang kas, kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan untuk berkembang. Sebagai makhluk social, ia memiliki naluri untuk hidup bersama, berkelompok, bermasyarakat, tolong menolong dan lain sebagainya. Ketiga, manusia sebagai makhluk berketuhanan yang memiliki artian bahwa manusia mampu membedakan mana perbuatan yang baik dengan yang tidak. Untuk memaksimalkan hal di atas manusia perlu memupuknya dengan proses belajar, sehingga bisa dikatan bahwa dalam proses perjalanannya untuk menjadi lebih baik manusia tidak bisa terlepas dari proses belajar[10].
“Belajar” sangat penting bagi perkembangan manusia, karena perubahan dan kemampuan untuk berubah merupakan batasan dan makna yang terkandung dalam belajar. Dengan belajar manusia terbebaskan dari kemandegan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi, bahkan, karena kemampuan berkembang melalui belajar itu manusia secara bebas dapat mengeksplorasi, memilih, dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk hidupnya. Tidak hanya dalam perkembangannya arti penting belajar bagi manusia, belajar juga sangat penting bagi kehidupannya, belajar sangat memiliki andil dalam mempertahankan kehidupan sekelompok umat manusia (bangsa) di tengah-tengah persaingan yang semakin ketat di antra bangsa-bangsa lainya yang lebih dahulu maju karena belajar. Akibat persaingan tersebut, juga tidak sedikit orang  pintar yang menggunakan kepintarannya untuk membuat orang lain terpuruk atau bahkan menghancurkan kehidupan orang tersebut.
Meskipun ada dampak negatif dari hasil belajar, kegiatan belajar lebih banyak memberi dampak positif. Karena dengan belajar, manusia tidak sekedar mengembangkan potensi-potensi yang telah dimiliki, melainkan lebih dari itu, misalnya, dengan Ilmu dan teknologi hasil belajar bisa mmebangun pertahanan dari penindasan, dari segi moral bisa bertingkah laku dengan baik dan bisa menghargai manusia di luar dirinya.[11]
Dari paparan di atas dapat kita tarik benang merah bahwa manusia yang ideal bagi masa depan adalah manusia yang mampu memaksimalkan potensi dirinya dengan optimal melalui proses belajar dan menggunakan hasil belajarnya (apapun hal yang dipelajari) untuk kebaikan sesame, lingkungan, alam sekitar dan bertakwa kepada Allah saw.
C.     Teori Psikologi Klasik Tentang Belajar
Teori ini menilai bahwa manusia terdiri dari jiwa dan badan, yang mana antara keduanya berbeda. Badan adalah suatu objek yang sampai ke alat indra, sifatnya terbatas dan bukan suatu keseluruhan realita, melainkan berkenaan dengan proses-proses materiil, yang terikat pada hokum-hukum mekanis. Sementara jiwa merupakan suatu realita yang nomateriil, yang ada di dalam badan, berfikir, merasa, berkeinginan, mengontrol kegiatan badan, serta bertanggung jawab. Jiwa juga merupakan fakta-fakta tersendiri, seperti rasa sakit, frustasi, aspirasi, apresiasi, tujuan daan kehendak dan bebas dari hokum-hukum mekanis (realita ini disebut dengan mind substansi.
Dengan kebebasannya (jiwa) mampu menghasilkan pengalaman-pengalaman baru, memperkaya system saraf dengan pengalaman, dan pengalaman ini tergantung pada mind substansi serta semua konsepsi ini diperoleh secara langsung berasal dari dunia luar melalui sence experience. Pengetahuan ada yang bersumber dari luar pengalaman, misalnya pengertian ruang dan waktu. Hal ini bersifat transenden seperti sesuatu yang absolute. Tuhn, yang tak terbatas, namun kita yakin berdasarkan hasil pemikiran bahwa hal-hal itu tidak ada sesuatu yang menyebabkannya dan tidak terbatas. Pemikiran seperti ini disebut dengan rational knowledge, dan konsepsi seperti ini merupakan suatu konstruksi dari jiwa dari hasil aktivitas kreatifnya. Dari siani bisa dimengerti bahwa konsepsi-konsepsi ada yang diperoleh dari aktivitas kreatif (rational knowledge) yang murni dan ada pula yang beerasal daari empiri (sense of experience). Dengan demikian menurut teori ini, belajar adalah all learning is a process of developing or training of mind. Kita belajar melihat objek dengan menggunakan substansi dan sensasi. Dan kita juga mengembangkan kekuatan mencipta, ingatan, keinginan, pikiran, dengan cara melatihnya. Dengan lain kata, pendidikan adalah suatu proses dari dalam atau inner development.[12]
D.    Aplikasi Teori Belajar Konstruktivistik
Konstruktivistik memberikan perhatian kepada kurikulum-kurikulum yang terpadu[13] dan merekomendasikan para guru untuk menggunakan materi-materi sedemikian rupa sehingga siswa menjadi terlibat secara aktif. Kathistone mengimplementasikan berbagai gagasan konstruktifis dalam mengajar para siswa kelas tiganya dengan menggunakan materi terpadu. Pada musim gugur ia menyampaikan materi tentang buah lagu. Dalam pelajaran studi-studi social anak-anak ini belajar dimana labu dibudidayakan dan tentang produk-produk yang dibuat dari labu. Mereka juga mempelajari penggunaan-penggunaan labu dalam sejarah dan manfaat-manfaat buah labu bagi para penduduk yang mula-mula mendiami amerika.
Kathistone membawa para siswa di kelasnya berdarmawisata ke perkebunaan dimana mereka belajar bagaiumana labu dibudidayakan. Masing-masing siswa memilih satu buah labu dan membawanya kembali ke kelas. Buah labu menjadi alat pembelajaran yang bernilai. Dalam pelaajaran matematika siswa memperkirakan ukuran dan berat labu-labu mereka dengan mengukur dan menimbangnya. Mereka membuat grafik kelas yang menunjukkan perbandingan dari semua buah labu mereka menurut ukuran, bobot, bentuk, dan warnanya. Anak-anak ini juga mengestimasi jumlah benih yang kira-kira dimiliki buah labu dengan cara membelah dan menghitung benih-benih tersebut. Untuk aktifitas kelas lainnya, siswa membuat roti dari buah labu. Dalam pelajaran seni, mereka belajar mmerancang bentuk untuk memahat buah labu. Dalam pelajaran seni bahasa, mereka menulis cerita tentang labu. Mereka juga  menyusun surat ucapan terimakasih kepada pengelola perrkebunan labu. Dari contoh ini, mengilustrasikan bagaimana kathistone telah memadukan studi tentang buah labu drai berbagai mata pelajaran[14]. Pembelajaran krostruktivistik ini juga menjadi dasar munculnya pembelajaran berdasarkan masalah[15].





KESIMPULAN
pembelajran konstruktivistik adalah landasan berfikir pembelajaran konstektual yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konstek yang terbatas ( sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat akta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat, melainkan manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Asumsi-asumsi yang dikembangkan oleh konstruktivistik adalah pertama: Manusia merupakan siswa aktif yang mengembangkan pengetahuan bagi mereka sendiri. Untuk memahami materi dengan baik, siswa harus menemukan prinsip-prinsip dasar materi. Kedua: Guru sebaiknya tidak mengajar dengan cara tradisional, melainkan guru seharusnya membangun situasi-situasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat terlibat secaraaktif dengan materi pelajaran melalui pengolahan materi-materi dan interaksi social
Perspektif Tentang Konstruktivistik
Pertama: Perspektif Eksogenus, dengan dasar pikiran bahwa penguasaan pengetahuan merepresentasikan sebuah konstruksi ulang dari dunia luar. Kedua: Endogenous, menurut perspektif ini pengetahuan diperoleh dari pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya, tidak secara langsung dari interaksi-interaksi lingkungan. Ketiga: Dialektikal, pengetahuan diperoleh dari interaksi-interaksi antara oramg-orang dan lingkungan mereka. konstruksi-konstruksi atau interpretasi-interpretasi tidak selalu terikat dengan dunia luar ataupun keseluruhan kegiatan pemikiran.








DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Abd, Filsafat Pendidikan Islam: Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam, (Surabaya: eLKAF, 2006).
Djali, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011).
Dimyati dan Mudjiono , Belajara dan pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006),
Hamdiah, Eva dan Rahmat Fajar , Teori-Teori Pembelajaran Perspektif Penidikan, terj. (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2012).
Hamalik, Oemar , Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009),
Kunandar, Guru Professional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, (Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 2007).
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan  Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010).
Syah, Muhibin, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2010).
Prasetya, Tri, Filasafat Pendidikan Islam: Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen Mkdk, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997).
Trianto, Desain Pengembangan Pembelajaran Tematik: Bagi Anak Usia Dini TK/RA dan Anak Usia Kelas Awal SD/MI, (Jakarta: Kencana, 2011)


[1] Fungsionalistik Dominan, Asosiasionistik Dominan, Kognitif Dominan,  Evolusioner, konstruktivistik, Neurovisiologis, dll.
[2] Edward Lee Thorndike, Burhus Frederick Sekkiner, Clark Leonaard Hull, Ivan Petrovich Pavlov, Edwin Ray Guthrie, Will Kaye Estes, Jean Piaget, Gestalt, Edward Chace Tolman, Albert Bandura, Donald Olding Hebb, Robert C. Bolles, dll.
[3] Dimyati dan Mudjiono, Belajar Dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006), Cet. VI, h. 17.
[4] Piaget memandang bahwa proses berfikir merupakan aktivitas gradual dari fungsi intelektual, yaitu dari berfikir konkret menuju abstrak. Yang artinya perkembangan kapasitas mental memberikan kemampuan baru uang sebelumnya tidak ada. Yang dimaksud dengan perkembangan intelektual adalah kualitatif . dan intelegensia itu terdiri dari tiga aspek, yaitu 1. struktur atau scheme : pola tingkah laku yang dapat diulang. 2. Isi atau content  pola tingkah laku spesifik, ketika seseorang menghadapi suatu masalah. 3. Fungsi atau function  yang berhubungan dengan cara seseorang mencapai kemajuan intelektual.Djali, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), Cet. XV, h. 76.
[5] Eva Hamdiah dan Rahmat Fajar , Teori-Teori Pembelajaran Perspektif Penidikan, terj. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 320.
[6] Menurut teori psikologi kognitif bahwa asas belajar  adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioristik meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nayata dalam hamper setiap peristiwa belajar siswa. Namun secara lahiriyah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (mulut dan tangan) untuk mengucapkan dan menggoreskan pena, akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan tersebut bukan semata-mata respon atas stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otak.  Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan  Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), Cet. X, h. 108-109.
[7] Kunandar, Guru Professional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 283-284.
[8] Eva Hamdaniah dan Rahmat Fajar,…, h. 325.
[9] Tri Prasetya, Filasafat Pendidikan Islam: Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), h. 146.
[10] Hal ini juga senada dengan sudut pandang islam, yang menilai bahwa  hakikat manusia adalah wujud yang diciptakan, dengan ciptaan manusia ini, manusia telah diberi loleh pencipta-Nya potensi-potensi untuk hidup yang dalam hal ini berhubungan dengan fitrah manusia dan kefitrahan tersebut juga harus dipupuk dengan belajar. Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam: Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam, (Surabaya: eLKAF, 2006), h. 25-29.
[11] Muhibin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2010), Cet. X, h. 59-63.
[12] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), Cet. IX, h.35-36.
[13] Pembelajaran konstruktivistik ini dalam pengaruhnya terhadap kurikulum seolah hamper sama dengan pembelaran tematik (memadukan beberapa mata pelajaran dalam satu pembahsan atau saat proses belajar berlangsung).
[14] Eva…, h. 330.
[15] Pada model pembelajran ini dimulai dengan menyajikan permasalahan nyata yang penyelesaiannya membutuhkan kerja sama di antara siswa-siswa. Guru memandu siswa menguraikan rencana pemecahan masalah menjadi tahap-tahap kegiatan; guru memberi contoh mengenai penggunaan ketrampilan dan strategi yang dibutuhkan supaya tugas-tugas tersebut dapat diselesaikan, dan guru juga harus menciptakan suasan kelas yang fleksibel dan berorientasi pada upaya penyelidikan oleh siswa.  Trianto, Desain Pengembangan Pembelajaran Tematik: Bagi Anak Usia Dini TK/RA dan Anak Usia Kelas Awal SD/MI, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 143.

0 komentar:

Posting Komentar