BELAJAR
KONSTRUKTIVISTIK
Oleh :
Upik Khoirul Abidin
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Mesdiskusikan masalah-masalah
teori belajar memang tidak pernah membesankan, terutama bagi akademisi
pendidikan, sebab dunia pendidikan senantiasa berkembang seiring kemajuan
jaman. Namun ketika kita membahas tentang pendidikan, tentu tidak bisa lepas
dari kata “belajar’. Belajar merupakan salah satu kata kunci dalam dunia
pendidikan.belajar juga merupakan sebuah proses bagi manusia (secara khusus)
dan makhluk Tuhan lainnya untuk menjadikan diri menjadi organisme yang lebih
baih dari sebelumnya (berkembang). Jadi tidak heran jika banyak tokoh-tokoh
yang menghibahkan pikiran, tegana,
waktu, dan lain-lain untuk melakukan penelitian tentang proses
terjadinya belajar atau yang kami maksud dengan teori belajar.
Mempelajari teori belajar
menjadi keharusan bagi akademisi pendidikan, sebab teori belajar tersebut
merupakan ilmu dasar dalam mempelajari proses belajar. Di dalamnya, kita tidak
hanya mengetahui aliran-aliran teori belajar[1],
tokoh-tokohnya[2],
cara melakukan penetiannya, dll, lebih luas kita bisa mempelajari atau
mengetahui bagaimana organisme dalam menerima pengetahuan atau merespon hal-hal
baru yang berkaitan baik dengan dirinya (tingkah laku) atau yang berkaitan
dengan bagaimana organisme memecahkan masalah-maslah yang dihadapinya.
Salah satu dari beberapa aliran
atau teori belajar adalah teori belajar kronstruktivistik yang lebih lanjut
menjadi pembahasan makalah ini. Sebelum memasuki pembahasan lebih mendalam,
sebenarnya konstruktivisme sangat berbeda dengan teori-teori belajar lainnya
karena konstruktivisme lebih tepatnya merupakan sebuah epistemologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori Belajar Konstruktivistik
Belajar merupan peristiwa
sehari-hari di sekolah dan merupakan hal yang kompleks. Kompleksitas tersebut
dapat kita lihat dari dua subyek, yaitu siswa dan guru. Dari segi siswa,
belajar dialami sebagai proses, proses mental dalam menghadapi bahan pelajaran.
Sedangkan dari segi guru, proses belajar tersebut tampak sebagai perilaku
belajar tentang sesuatu hal, maka dari sini kiranya baik siswa maupun guru
sangat berkaitan atau mempengaruhi. Dalam peranannya guru dituntut untuk lebih
kreatif dalam pengajarannya. Salah satunya dengan memahami dari berbagai teori
belajar, seperti teori yang akan dibahas pada makalah ini (teori
konstruktivistik)[3].
Untuk memudahkan pemahaman tentang teori
belajar konstruktivistik, di awal pembahasan ini akan dipaparkan dialog antara
guru dan siswa saat proses belajar sedang berlangsung.
Digambar dalam sebuah pelajaran
matematika kelas satu sekolah dasar tentang pengukuran dan ekuivalensi, siswa
diarahkan untuk menggunakan timbangan guna mengukur berapa banyak jumlah kaleng
plastik yang beratnya sama dengan satu cincin emas. Diwaktu yang bersamaan,
guru ternya memperhatikan salah satu murid yang kelihatan bersemangat dalam
belajar dan mengambil kesempatan untuk membantunya, Agis namanya, dan untuk
memulai membangun pemahaman dasar tentang rasio dan proporsi. (dan terjadilah
dialog).
Guru : berapa banyak kaleng plastik yang
dibutuhkan supaya seimbang dengan satu cincin emas?
Agis :
(setelah beberapa lama mencoba), Empat Bu.
Guru : jika saya menaruh satu lagi cincin emas
di tempat yang sama, berapa banyak lagi kaleng plastik yang dibutuhkan agar
tetap seimbang?
Agis :satu.
Guru : cobalah.
Agis
menaruh satu lagi kaleng plastik di atas nampan timbangan dan ia melihat bahwa
timbangannya tidak seimbang. Ia terlihat bingung, lalu menaruh satu lagi di
nampan timbangan, dan satu lagi kaleng plastik yang ke tiga. Masih belum
seimbang ia menaruh lagi satu lagi disana. Akhirnya timbangannya seimbang, ia
tersenyum dalam melihat ke arah gurunya.
Guru : Berapa banyak kaleng plastik yang kita
perlukan untuk menyeimbangkan satu cincin emas?
Agis : Empat
Guru : dan berapa banyak untuk dua cincin logam?
Agis : (Menghitung) Delapan
Guru : Jika saya menaruh satu lagi, berapa
banyak lagi kaleng plastik yang kamu butuhkan agar timbangannya seimbang?
Agis : (Berfikir dan melihat kearah gurunya
dengan bingung bercampur senang) Empat
Guru : Cobalah
Agis : (Setelah berhasil menyeimbangkan
timbangannya dengan empat kaleng).Tiap cincin emas sama dengan empat kaleng
plastik.
Guru : Sekarang saya akan memberikan pertanyaan
yang sulit. Jika saya ambil empat kaleng
plastik dari timbangan ini, berapa banyak juga cincin emas yang harus saya
ambil supaya timbangannya seimbang?
Agis : Satu!
Dari dialog di atas telah
menggambarkan adanya proses konstruktivistik dimana Konstruktivistik memiliki
pengertian perspektif psikologis dan filosofis yang memandang bahwa
masing-masing individu membentuk atau membangun sebagian besar dari apa yang
mereka pelajari dan pahami. Kemunculan teori ini didorong oleh teori dan
penelitian dalam ilmu perkembangan manusia, terutama teori-teori Piaget[4] dan
Vygosky, sehingga ketika membahas teori konstruktivistik juga tidak terlebas
bahasannya dengan teori Piaget dan Vygosky, namun pada makalah ini kedua teori
tersebut tidak dijelaskan secara panjang lebar, karena sudah menjadi makalah
sebelumnya kecuali teori Vygosky.
Pada dekade akhir-akhir ini
sejumlah peneliti pembelajaran telah memfokuskan perhatiannya kepada siswa,
tidak sekedar membahasa bagaimana pengetahuan diperoleh, melainkan bagaimana
pengetahuan dibangun, sehingga apa yang mereka lakukan dan landasan-landasan
teoritis yang mereka gunakan disebut sebagai
konstruktivistik (yang mengetengahkan bahwa siswa menciptakan
pembelajaran mereka sendiri, bisa kita lihat dialog yang antara guru dengan
agis)[5].
Konstruktivistik menolak dan
mempertanyakan asumsi yang ditawarkan psikologi kognitif[6]
tentang pembelajaran dan pembelajaran, penolakannya didasari bahwa menurutnya
kegiatan berfikir terjadi dalam situasi-situasi dan bahwa kognisi sebagian
besar dibangun oleh masing-masing individu sebagai fungsi dari pengalaman-pengalaman
mereka dalam situasi-situasi tersebut.
Mereka memiliki asumsi-asumsi yang menurutnya lebih baik yang lebih
menekankan kontribusi individu terhadap yang dipelajari dalam pembelajaran dan
perkembangannya.
Asumsi utamanya adalah manusia
merupakan siswa aktif yang mengembangkan pengetahuan bagi mereka sendiri. Untuk
memahami materi dengan baik, siswa harus menemukan prinsip-prinsip dasar
materi.namun sebagian para konstruktivis memiliki pandangan bahwa
struktur-struktur mental hadir untuk mencerminkan realita, sementara bagian
yang lain (konstruktivis-konstruktivis radikal) berpandangan bahwa dunia mental
individu adalah stu-satunya realita. Namun, asumsi yang menyatakan bahwa siswa
membangun pemahamannya sendiri dalam pembelajaran menjadi aspek epistemology
konstruktivistik ini.
Asumsi berikutnya adalah, guru
sebaiknya tidak mengajar dengan cara tradisional, melainkan guru seharusnya
membangun situasi-situasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat terlibat
secaraaktif dengan materi pelajaran melalui pengolahan materi-materi dan
interaksi social. Dari sini terlihat bahwa aktivitas-aktivitas pembelajaran
konstruktivis meliputi mengamati fenomena-fenomena, mengumpulkan data-data,
merumuskan dan menguji hipotesis-hipotesis, dan bekerjasama dengan orang lain.
Siswa diarahkan untuk mampu mengatur dirinya dan berperan aktif dalam
pembelajaran mereka dengan menentukan tujuan-tujuan, memantau dan mengevaluasi
kemajuan mereka, dan bertindak melampaui standar-standar yang disyaratkan bagi
mereka dengan menelusuri hal-hal yang menjadi minat mereka.
Dari paparan di atas ini juga
dapat disimpulkan bahwa pembelajran konstruktivistik adalah landasan berfikir
pembelajaran konstektual yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh
manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konstek yang
terbatas ( sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah
seperangkat akta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan
diingat, melainkan manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu dan memberi
makna melalui pengalaman nyata[7].
Perspektif-Perspektif
Tentang Konstruktivistik
Pertama:
Perspektif Eksogenus, dengan dasar pikiran bahwa penguasaan pengetahuan
merepresentasikan sebuah konstruksi ulang dari dunia luar. Dunia memengaruhi
keyakinan-keyakinan melalui pengalaman-pengalaman, pengamatan terhadap
model-model, dan pengajaran. Pengetahuan dipandang akurat jika ia mencerminkan
realitas eksternal. Kedua: Endogenous, menurut perspektif ini
pengetahuan diperoleh dari pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya, tidak
secara langsung dari interaksi-interaksi lingkungan. Pengetahuan bukanlah
sebuah cermin dari dunia luar, pengetahuan itu berkembang melalui abstraksi
kognitif. Ketiga: Dialektikal, pengetahuan diperoleh dari
interaksi-interaksi antara oramg-orang dan lingkungan mereka.
konstruksi-konstruksi atau interpretasi-interpretasi tidak selalu terikat
dengan dunia luar ataupun keseluruhan kegiatan pemikiran. Pengetahuan
mencerminkan hasil-hasil dari kontradiksi mental yang ditimbulkan dari interksi-interaksi
seseorang dengan lingkungan.[8]
B. Hakikat
Manusia Masa Depan.
Manusia sebagai makhluk paling
sempurna di antara makhluk ciptaan-Nya tentunya memiliki nilai lebih, yakni
akal pikiran dan akal ini selaklu bergolak dan fikir[9].
Meskipun memiliki akal pikiran, manusia tidak bisa serta merta mampu memanfaat
“keutamaannya” tersebut. Ia harus berusaha untuk memanfaatkan secara optimal
anugerah itu, yakni melalui proses belajar.
Pada dasarnya manusia itu
memiliki bebrapa hakekat, yakni pertama, manusia itu sebagai makhluk dwi
tunggal, artinya anusia terdiri dari dua unsur, yaitu rohaniah dan jasmaniah.
Kedua, manusia sebagai makhluk individu dan social, sabagai individu, ia
mempunyai sifat-sifat yang kas, kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan
untuk berkembang. Sebagai makhluk social, ia memiliki naluri untuk hidup
bersama, berkelompok, bermasyarakat, tolong menolong dan lain sebagainya.
Ketiga, manusia sebagai makhluk berketuhanan yang memiliki artian bahwa manusia
mampu membedakan mana perbuatan yang baik dengan yang tidak. Untuk
memaksimalkan hal di atas manusia perlu memupuknya dengan proses belajar,
sehingga bisa dikatan bahwa dalam proses perjalanannya untuk menjadi lebih baik
manusia tidak bisa terlepas dari proses belajar[10].
“Belajar” sangat penting bagi
perkembangan manusia, karena perubahan dan kemampuan untuk berubah merupakan
batasan dan makna yang terkandung dalam belajar. Dengan belajar manusia
terbebaskan dari kemandegan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi, bahkan,
karena kemampuan berkembang melalui belajar itu manusia secara bebas dapat
mengeksplorasi, memilih, dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk
hidupnya. Tidak hanya dalam perkembangannya arti penting belajar bagi manusia,
belajar juga sangat penting bagi kehidupannya, belajar sangat memiliki andil
dalam mempertahankan kehidupan sekelompok umat manusia (bangsa) di
tengah-tengah persaingan yang semakin ketat di antra bangsa-bangsa lainya yang
lebih dahulu maju karena belajar. Akibat persaingan tersebut, juga tidak sedikit
orang pintar yang menggunakan
kepintarannya untuk membuat orang lain terpuruk atau bahkan menghancurkan
kehidupan orang tersebut.
Meskipun ada dampak negatif
dari hasil belajar, kegiatan belajar lebih banyak memberi dampak positif.
Karena dengan belajar, manusia tidak sekedar mengembangkan potensi-potensi yang
telah dimiliki, melainkan lebih dari itu, misalnya, dengan Ilmu dan teknologi
hasil belajar bisa mmebangun pertahanan dari penindasan, dari segi moral bisa
bertingkah laku dengan baik dan bisa menghargai manusia di luar dirinya.[11]
Dari paparan di atas dapat kita
tarik benang merah bahwa manusia yang ideal bagi masa depan adalah manusia yang
mampu memaksimalkan potensi dirinya dengan optimal melalui proses belajar dan
menggunakan hasil belajarnya (apapun hal yang dipelajari) untuk kebaikan
sesame, lingkungan, alam sekitar dan bertakwa kepada Allah saw.
C. Teori
Psikologi Klasik Tentang Belajar
Teori ini menilai bahwa manusia
terdiri dari jiwa dan badan, yang mana antara keduanya berbeda. Badan adalah
suatu objek yang sampai ke alat indra, sifatnya terbatas dan bukan suatu
keseluruhan realita, melainkan berkenaan dengan proses-proses materiil, yang
terikat pada hokum-hukum mekanis. Sementara jiwa merupakan suatu realita yang
nomateriil, yang ada di dalam badan, berfikir, merasa, berkeinginan, mengontrol
kegiatan badan, serta bertanggung jawab. Jiwa juga merupakan fakta-fakta
tersendiri, seperti rasa sakit, frustasi, aspirasi, apresiasi, tujuan daan
kehendak dan bebas dari hokum-hukum mekanis (realita ini disebut dengan mind
substansi.
Dengan kebebasannya (jiwa)
mampu menghasilkan pengalaman-pengalaman baru, memperkaya system saraf dengan
pengalaman, dan pengalaman ini tergantung pada mind substansi serta
semua konsepsi ini diperoleh secara langsung berasal dari dunia luar melalui sence
experience. Pengetahuan ada yang bersumber dari luar pengalaman, misalnya
pengertian ruang dan waktu. Hal ini bersifat transenden seperti sesuatu yang
absolute. Tuhn, yang tak terbatas, namun kita yakin berdasarkan hasil pemikiran
bahwa hal-hal itu tidak ada sesuatu yang menyebabkannya dan tidak terbatas.
Pemikiran seperti ini disebut dengan rational knowledge, dan konsepsi
seperti ini merupakan suatu konstruksi dari jiwa dari hasil aktivitas
kreatifnya. Dari siani bisa dimengerti bahwa konsepsi-konsepsi ada yang
diperoleh dari aktivitas kreatif (rational knowledge) yang murni dan ada
pula yang beerasal daari empiri (sense of experience). Dengan demikian
menurut teori ini, belajar adalah all learning is a process of developing or
training of mind. Kita belajar melihat objek dengan menggunakan substansi
dan sensasi. Dan kita juga mengembangkan kekuatan mencipta, ingatan, keinginan,
pikiran, dengan cara melatihnya. Dengan lain kata, pendidikan adalah suatu
proses dari dalam atau inner development.[12]
D. Aplikasi
Teori Belajar Konstruktivistik
Konstruktivistik memberikan
perhatian kepada kurikulum-kurikulum yang terpadu[13]
dan merekomendasikan para guru untuk menggunakan materi-materi sedemikian rupa
sehingga siswa menjadi terlibat secara aktif. Kathistone mengimplementasikan
berbagai gagasan konstruktifis dalam mengajar para siswa kelas tiganya dengan
menggunakan materi terpadu. Pada musim gugur ia menyampaikan materi tentang
buah lagu. Dalam pelajaran studi-studi social anak-anak ini belajar dimana labu
dibudidayakan dan tentang produk-produk yang dibuat dari labu. Mereka juga
mempelajari penggunaan-penggunaan labu dalam sejarah dan manfaat-manfaat buah
labu bagi para penduduk yang mula-mula mendiami amerika.
Kathistone membawa para siswa
di kelasnya berdarmawisata ke perkebunaan dimana mereka belajar bagaiumana labu
dibudidayakan. Masing-masing siswa memilih satu buah labu dan membawanya
kembali ke kelas. Buah labu menjadi alat pembelajaran yang bernilai. Dalam
pelaajaran matematika siswa memperkirakan ukuran dan berat labu-labu mereka
dengan mengukur dan menimbangnya. Mereka membuat grafik kelas yang menunjukkan
perbandingan dari semua buah labu mereka menurut ukuran, bobot, bentuk, dan
warnanya. Anak-anak ini juga mengestimasi jumlah benih yang kira-kira dimiliki
buah labu dengan cara membelah dan menghitung benih-benih tersebut. Untuk
aktifitas kelas lainnya, siswa membuat roti dari buah labu. Dalam pelajaran
seni, mereka belajar mmerancang bentuk untuk memahat buah labu. Dalam pelajaran
seni bahasa, mereka menulis cerita tentang labu. Mereka juga menyusun surat ucapan terimakasih kepada
pengelola perrkebunan labu. Dari contoh ini, mengilustrasikan bagaimana
kathistone telah memadukan studi tentang buah labu drai berbagai mata pelajaran[14].
Pembelajaran krostruktivistik ini juga menjadi dasar munculnya pembelajaran
berdasarkan masalah[15].
KESIMPULAN
pembelajran konstruktivistik
adalah landasan berfikir pembelajaran konstektual yang menyatakan bahwa
pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas
melalui konstek yang terbatas ( sempit) dan tidak sekonyong-konyong.
Pengetahuan bukanlah seperangkat akta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap
untuk diambil dan diingat, melainkan manusia harus mengonstruksi pengetahuan
itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Asumsi-asumsi yang dikembangkan
oleh konstruktivistik adalah pertama: Manusia merupakan siswa aktif yang
mengembangkan pengetahuan bagi mereka sendiri. Untuk memahami materi dengan
baik, siswa harus menemukan prinsip-prinsip dasar materi. Kedua: Guru
sebaiknya tidak mengajar dengan cara tradisional, melainkan guru seharusnya
membangun situasi-situasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat terlibat
secaraaktif dengan materi pelajaran melalui pengolahan materi-materi dan
interaksi social
Perspektif Tentang
Konstruktivistik
Pertama:
Perspektif Eksogenus, dengan dasar pikiran bahwa penguasaan pengetahuan
merepresentasikan sebuah konstruksi ulang dari dunia luar. Kedua:
Endogenous, menurut perspektif ini pengetahuan diperoleh dari pengetahuan yang
telah dipelajari sebelumnya, tidak secara langsung dari interaksi-interaksi
lingkungan. Ketiga: Dialektikal, pengetahuan diperoleh dari
interaksi-interaksi antara oramg-orang dan lingkungan mereka.
konstruksi-konstruksi atau interpretasi-interpretasi tidak selalu terikat
dengan dunia luar ataupun keseluruhan kegiatan pemikiran.
DAFTAR
PUSTAKA
Aziz, Abd, Filsafat
Pendidikan Islam: Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam, (Surabaya:
eLKAF, 2006).
Djali,
Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011).
Dimyati
dan Mudjiono , Belajara dan pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2006),
Hamdiah, Eva dan Rahmat Fajar ,
Teori-Teori Pembelajaran Perspektif Penidikan, terj. (Yogyakarta:
Pustaka pelajar, 2012).
Hamalik, Oemar , Proses Belajar Mengajar,
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009),
Kunandar, Guru Professional:
Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dan Persiapan Menghadapi
Sertifikasi Guru, (Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 2007).
Syah, Muhibbin, Psikologi
Pendidikan Dengan Pendekatan Baru,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010).
Syah,
Muhibin, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada,
2010).
Prasetya, Tri, Filasafat Pendidikan Islam:
Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen Mkdk, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997).
Trianto, Desain Pengembangan Pembelajaran Tematik: Bagi
Anak Usia Dini TK/RA dan Anak Usia Kelas Awal SD/MI, (Jakarta: Kencana,
2011)
[1] Fungsionalistik Dominan, Asosiasionistik
Dominan, Kognitif Dominan, Evolusioner,
konstruktivistik, Neurovisiologis, dll.
[2] Edward Lee Thorndike, Burhus Frederick
Sekkiner, Clark Leonaard Hull, Ivan Petrovich Pavlov, Edwin Ray Guthrie, Will
Kaye Estes, Jean Piaget, Gestalt, Edward Chace Tolman, Albert Bandura, Donald
Olding Hebb, Robert C. Bolles, dll.
[3] Dimyati dan Mudjiono, Belajar Dan
Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006), Cet. VI, h. 17.
[4] Piaget memandang bahwa proses berfikir
merupakan aktivitas gradual dari fungsi intelektual, yaitu dari berfikir
konkret menuju abstrak. Yang artinya perkembangan kapasitas mental memberikan
kemampuan baru uang sebelumnya tidak ada. Yang dimaksud dengan perkembangan
intelektual adalah kualitatif . dan intelegensia itu terdiri dari tiga aspek,
yaitu 1. struktur atau scheme : pola tingkah laku yang dapat diulang. 2.
Isi atau content pola tingkah
laku spesifik, ketika seseorang menghadapi suatu masalah. 3. Fungsi atau function yang berhubungan dengan cara seseorang
mencapai kemajuan intelektual.Djali, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2011), Cet. XV, h. 76.
[5] Eva Hamdiah dan Rahmat Fajar , Teori-Teori
Pembelajaran Perspektif Penidikan, terj. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012), h. 320.
[6] Menurut teori psikologi kognitif bahwa
asas belajar adalah peristiwa mental,
bukan peristiwa behavioristik meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak
lebih nayata dalam hamper setiap peristiwa belajar siswa. Namun secara
lahiriyah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya,
tentu menggunakan perangkat jasmaniah (mulut dan tangan) untuk mengucapkan dan
menggoreskan pena, akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan
pena yang dilakukan tersebut bukan semata-mata respon atas stimulus yang ada,
melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otak. Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2010), Cet. X, h. 108-109.
[7] Kunandar, Guru Professional:
Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dan Persiapan Menghadapi
Sertifikasi Guru, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 283-284.
[8] Eva Hamdaniah dan Rahmat Fajar,…, h.
325.
[9] Tri Prasetya, Filasafat Pendidikan
Islam: Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
1997), h. 146.
[10] Hal ini juga senada dengan sudut pandang
islam, yang menilai bahwa hakikat
manusia adalah wujud yang diciptakan, dengan ciptaan manusia ini, manusia telah
diberi loleh pencipta-Nya potensi-potensi untuk hidup yang dalam hal ini
berhubungan dengan fitrah manusia dan kefitrahan tersebut juga harus dipupuk
dengan belajar. Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam: Sebuah Gagasan
Membangun Pendidikan Islam, (Surabaya: eLKAF, 2006), h. 25-29.
[11] Muhibin Syah, Psikologi Belajar,
(Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2010), Cet. X, h. 59-63.
[12] Oemar Hamalik, Proses Belajar
Mengajar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), Cet. IX, h.35-36.
[13] Pembelajaran konstruktivistik ini dalam
pengaruhnya terhadap kurikulum seolah hamper sama dengan pembelaran tematik
(memadukan beberapa mata pelajaran dalam satu pembahsan atau saat proses
belajar berlangsung).
[14] Eva…, h. 330.
[15] Pada model pembelajran ini dimulai
dengan menyajikan permasalahan nyata yang penyelesaiannya membutuhkan kerja
sama di antara siswa-siswa. Guru memandu siswa menguraikan rencana pemecahan
masalah menjadi tahap-tahap kegiatan; guru memberi contoh mengenai penggunaan
ketrampilan dan strategi yang dibutuhkan supaya tugas-tugas tersebut dapat
diselesaikan, dan guru juga harus menciptakan suasan kelas yang fleksibel dan
berorientasi pada upaya penyelidikan oleh siswa. Trianto, Desain Pengembangan Pembelajaran
Tematik: Bagi Anak Usia Dini TK/RA dan Anak Usia Kelas Awal SD/MI,
(Jakarta: Kencana, 2011), h. 143.