PERIWAYATAN HADIS DENGAN LAFAL DAN
MAKNA
Upik Khoirul Abidin
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Membicarakan sejarah periwayatan hadis tidak dapat
dipisahkan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis, hal ini
disebabkan adanya perbedaan pendapat para ulama dalam penyusunan memperiodesasi
pertumbuhan dan perkembangan hadis. Ada yang membagi menjadi tiga periode,
yakni masa Rasulullah SAW., sahabat dan tabi’in, masa pen-tadwin-an atau
sesudahnya. Dengan adanya periodeisasi ini menandakan bahwa ada perbedaan masa
antara perawi satu dengan perawi
lainnya, sehingga dapat menyebabkan perbedaan lafaz hadis yang diterimanya
meskipun secara maknanya sama.
Hal
ini menyebabkan ada kemungkinan besar perbedaan pula dalam meriwayatkan hadis.
Dari berbagai literatur terbukti telah dijelaskan ada dua cara dalam
meriwayatkan hadis, yakni periwayatan hadis dengan lafal dan periwayatan hadis
dengan makna. Beberapa ulama berpendapat bahwa mayoritas sahabat sangat
mengutamakan periwayatan dengan jalan lafal karena cara ini sangat menjaga
kwalitas matan hadis. Dilain sisi ada beberapa ulama yang tidak mengaharuskan
periwayatan dengan lafal, artinya mereka membolehkan periwayatan hadis dengan
cara lain (makna) asalkan periwayat melakukannya denga hati-hati dan tidak merusak
dari subtansi matannya.
Namun
demikian,di kalangan ulama muncul berbagai perbedaan tentang periwayatan hadis
dengan makna. Bagi mereka yang menerimanya berpendapat bahwa jika hadis tidak
mungkin diriwayatkan dengan lafal, maka boleh diriwayatkan dengan makna. Bagi
yang menolaknya berpendapat bahwa periwayatan hadis dengan makna dikawatirkan
akan merusak kwalitas matannya, sebab tidak menutup kemungkinan bagi periwayat
terbatasi kemampuannya untuk memahami hadis dari apa yang dimaksudkan oleh
Rasulullah.
Lebih
jauh untuk memahami periwayatan hadis dengan lafal dan makna serta pro kontra
periwayatan hadis dengan makna akan dijelaskan pada pembahasan di bawah ini
(bab II) dan juga beberapa contohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Periwayatan Hadis Dengan Lafal dan Makna
a.
Periwayatan Lafzhi
Periwayatan
hadis lafdhi merupakan periwayatan hadis yang lafalnya atau matannya
sama seperti yang diwurudkan oleh Rasulullah SAW.[1]
Namun hal ini hanya dapat dilakukan jika
mereka (periwayat hadis) benar-benar menghafal hadis yang disabdakan Rasulullah
dan kuwat daya ingatannya.
Mayoritas
para sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha agar
dalam meriwayatkan hadis benar-benar
sesuai dengan yang disampaikan oleh Rasulullah, bukan menurut redaksi mereka.
Hal ini dilakukan agar kwalitas matannya terjaga. Bahkan, menurut Ajjaj
Al-Khatib, seluruh sahabat menginginkan periwayatan hadis harus melalui jalan
ini (periwayatan lafzdi)[2].
Begitu
pentingnya priwayatan hadis dengan lafal, umar bin khaththab pernah berkata : “Barang
siapa yang mendengar hadis dari rasulullah SAW. Kemudian ia meriwayatkannya
sesuai yang ia dengar, maka ia akan selamat.” Ini menjadi bukti bahwa
periwayatan hadis dengan lafal sangat diutamakan dalam periwayatan hadis. Ibnu
Umar merupakan salah satu sahabat yang sangat menuntut periwayatan hadis dengan
lafal, ia sering sekali menegur sahabat yang membacakan hadis yang berbeda
dengan yang didengarnya dari Rasulullah meskipun secara subtansial makna
matannya sama. Seperti yang dilakukannya terhadap Ubaid bin Amir, suatu ketika
ia menyebutkan hadis tentang lima prinsip dasar Islam dengan meletakkan puasa
Ramadhan pada urutan ketiga, Ibnu Umar langsung menegurnya dengan menyuruhnya
agar puasa Ramadhan diletakkan pada urutan keempat sebagaimana yang ia dengar
dari Rasulullah.[3]
b.
Periwayatan Maknawi
Sebagian
ulama berpendapat bahwa periwayatan hadis tidak hanya dengan lafal, ada yang
membolehkan periwayatan hadis dengan makna, yang artinya periwayata hadis yang
matannya tidak sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah, tetapi isi atau
maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkaan oleh
Rasulullah.[4]
Tidak sama dengan Al Qur’an[5]
yang tidak boleh diriwayatkan dengan makna. Hadis merupakan sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau.[6]
Sehingga dengan demikian periwayatan hadis dengan makna diperbolehkan dengan
ketentuan apabila tidak mungkin meriwayatkannya dengan lafaz dan orang yang
meriwayatkan itu mengetahui apa yang ditunjuk oleh lafaz Nabi dan bahasanya.
Golongan
yang membolehkan ini beralasan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin
Sulaiman yang mengatakan ia bertanya kepada Rasul, yang artinya: “Hai
Rasulullah, sesungguhnya saya mendengar hadis darimu tetapi saya tak sanggup
meriwayatkannya menurut apa yang saya dengaryang bisa menambah atau menguranginya
barang sehuruf. Maka nabi bersabda : Apabila engkau tidak sampai menghalalkan
yang haram dan tidak sampai mengharamkan
yang halal serta maknanya tepat, maka hal itu taka pa-apa.” [7]
Meskipun
demikian, para sahabat sangat berhati-hati dalam melaksanakannya. Ibnu Mas’ud
misalanya, ketika ia meriwayatkan hadis, ia menggunakan term-term tertentu
untuk mengutkan penukilannya, seperti dengan kata qala rasulullah Shallahu
alaihi wasallam hakadza (rasulullah SAW. Telah bersabda begini) atau qala
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam qariban min hadza.[8]
Dalam
perkembangannya periwayatan hadis dengan makna mengakibatkan munculnya
hadis-hadis yang redaksinya antar satu hadis dengan hadis lainnya berbeda-beda,
meskipun makssudnya dan maknanya tetap sama. Hal ini sangat bergantung kepada
para sahabat atau generasi berikutnya yang meriwayatkan hadis-hadis tersebut.
Sehingga hal ini menimbulkan pro kontra diantara para ulama.
B.
Pro Kontra
Periwayatan Hadis Dengan Makna
Sejarah
mencatat bahwa periwayatan hadis dengan makna telah terjadi secara
besar-besaran, namun ada perbedaan pendapat mengenai konsekuensi-kosekuensi riwayah
seperti ini bagi literature hadis. Yang menjadi persoalannya adalah apakah
periwayatan hadis dengan makna telah menyebabkan terjadinya kerusakan pada
hadis, dan juga pada Islam atau tidak?.
Sebab hadis menjadi sandaran hukum dalam Islam setelah Al-Qur’an. Hal inilah
yang menyebabkan terjadinya pro kontra diantara ulama terhadap periwayatan
hadis dengan makna.
Rasyid
Ridha[9],
ia sangat menentang sikap yang menerima begitu saja sebagian riwayat yang
isinya terkesan aneh bagi dirinya. Salah satu argumennya untuk tidak mudah
menerima sebagian hadis ini di dasarkan pada kekawatirannya terhadap riwayah
bil-ma’na, karena menurutnya kebanyakan perawi hanya meriwayatkat
hadis-hadis yang mereka pahami saja, dan terkadang pemahamannya ternyata tidak
memadahi.[10]
Sedangkan
menurut pendapat Abu Rayyah, riwayah bil-ma’na menyebabkan hilangnya
literature hadis yang tak mungkin diperoleh lagi. Ia menegaskan lagi bahwa
sangat salah jika beranggapan kalau para perawi adalah kelompok eksklusif
terkemuka yang tidak mungkin mengubah sepatah katapun, menambahi sedikitpun,
bahkan lupa terhadap matan hadis yang sesuai didengarnya dari Rasulullah. Ia
mencontohkan hadis yang berkaitan tentang tasyahhud, menurutnya ada
delapan hadis berbeda yang menyangkut masalah tasyahhud diajarkat oleh
Nabi kepada delapan sabahat, diantara sahabat tersebut adalah Umar, Abdullah
bin Mas’ud, Ibn ‘Abbas, dan ‘Aisyah. Namun yang dianggap paling otoritatif
adalah versi Abdullah bin Mas’ud yang berbunyi : “Dengan tanganku di tangannya,
Rasul Allah mengajarkan kepadaku tasyahhud, ketika Rasul mengajarkanku surat-surat
Al-Qur’an: at-tahiyatu lillah wash-shalatu wath-thayyibat -as-salamu ‘alaika
ayyuhan-nabi wa-rahmat Allah wa-barakatuh -as-salamu ‘alaina wa-‘ala ‘ibada
Allah ash-shalihin -asy-hadu an la ilaha illa Allah -wa-asyhadu anna Muhammadan
‘abduhu wa-rasuluh”[11].
Mengenahi tasyahhud ini menerut Abu
Rayyah semua versi memiliki perbedaan untuk baris-baris pertama tasyahhud,
yakni sebelum kata asyhadu. Ia menyatakan, fakta bahwa bagian pokok
shalat ini sedemikian terdistorsi, seharusnya permasalahan tasyahhud ini
tidak mengalami perbedaan sampai sekarang, sebab hal ini telah dipraktikkan
terus-menerus oleh kaum muslim dari dulu hingga sekarang. Namun dengan adanya riwayah
bil-ma’na inilah yang menyebabkan adanya perbedaan versi tasyahhud.
Pendapat
Abu Rayyah ini telah dibantah oleh Hamzah[12],
menurutnya Abu Rayyah tidak memperhatikan konsep tanawwu’ al-‘ibadah (konsep keanekaragaman ibadah) yang
dimasukkan ke dalam Islam oleh Ibn Taimiyyah. Konsep ini memperlihatkan
kearifan yang menjadikan landasan semua peraturan Sang pemberi hukum. Misalnya,
seseorang bebas memilih dari tujuh cara membaca Al-Qur’an (al-qira’ah
as-sab) yang menurutnya paling mudah atau ia senangi. Begitu pula dengan tasyahhud,
tidak dipermasalahkan perbedaan bacaan tasyahhud selama syahadah-nya
(kesaksian bahwa Allah itu Esa dan Muhammad itu Nabi-Nya) tetap terjaga, sebab
Rasulullah-pun telah mengajarkan banyak bacaan yang berbeda, namun secara
subtansial hanya mengandung satu makna (syahadah)[13].
Ia membenarkan pendapat Abu Rayyah bahwa membaca tasyahhud merupakan praktik
yang senantiasa dilakukan kaum muslimin, namun menurutnya hal itu tidak
diucapkannya dengan keras, dari sinilah setiap orang boleh memilih bacaannya
sendiri.
Selain Abu Rayyah, diantara ulama
yang menolak riwayah bil-ma’na ialah Ibnu Sirin, Abu Bakar al-Razi[14],
secara garis besar ulama-ulama berpendapat bahwa riwayah bil-ma’na
jurtru akan merusak maksud dari matan hadis dan juga seorang perawi bukanlah
sekelompok eksklusif yang tidak menutup kemungkinan mengurangi atau menanmbahi,
lupa, lemah ingatanya dalam meriwayatkan hadis. Sedangkan ulama yang
membolahkan seperti Ibnu Mas’ud, boleh apabila dalam keadaan darurat karena
tidak hafal persis seperti yang diwurutkan Rasulullah, dan harus dengan
hati-hati. Sebagian ulama yang lain adalah ulama salaf, ulama khalaf di bidang
hadis, fiqh dan ushul fiqh seperti imam empat dengan ketentuanya:pertama,
bahwa seorang perawi harus memiliki pengetahuan bahasa arab secara mendalam. Kedua,
seorang perawi harus mengetahui perubahan makna bila terjadi perubahan
lafal.
C.
Contoh
Periwayatan Hadis Dengan Lafal Dan Makna
Contoh hadis riwayah
bil-lafzhi
من كذب علي متعمدا فليتبوء مقعده من ا لنار
Hadis ini menurut Al-Imam abu
Bakar As-Sairi telah diriwayatkan secara marfu’ oleh lebih dari enam
puluh sahabat. Tetapi menurut sebagia ahli huffaz, hadis ini diriwayatkan enam
puluh dua sahabat. Sedangkan menurut sebagian ulama menyatakan dua ratus
sahabat yang telah meriwaytakan hadis ini. Berbeda dengan pendapat Abu Al-Qasim
Ibnu Manduh yang mengatakan delapan puluh lebih periwayat hadis ini. Ini
artinya dari beberapa pendapat yang ada, dapa tkita simpulkan bahwa hadis ini
telah disepakati sebagai hadis riwayah bil-lafzhi. Meskipun jumlah
periwayatnya sangat banyak, namun telah diketahui tidak ada perbedaan
periwayatan lafalnya.[15]
نزل ا لقران على سبعة اْ حرف
Hadis
ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Turmidzi. Dan juga dua puluh tujuh sahabat
yang lain tanpa mengalami pergeseran lafal sedikitpun.[16]
Contoh hadis riwayah
bil-ma’na
فعن عو ف بن ما لك
ر ضي ا لله عنه قا ل قا ل ر سو ل ا لله صلى ا لله عليه و سلم : "ا فتر قت ا ليهو د على احد ى و سبعين فر قة فو ا
حد ة في ا لجنة و سبعو ن في ا لنار, وافتر قت النصارى على ثنتين وسبعين فرقةفاحدى
وسبعين فرقة في الناروواحدةفي الجنة, والذي نفس محمدبيده لتفترقن امتي على ثلاث
وسبعين فرقة, واحدةفي الجنةواثنتان وسبعون في النار" قيل:يارسوالله,من
هم؟قال:"الجماعة"[17]
(رواه ابن ماجه)[18]
عن عبد الله بن
عمرو: "ا فتر قت ا ليهو د على احد ى
و سبعين فر قة فو ا حد ة في ا لجنة و سبعو ن في ا لنار, وافتر قت النصارى على
ثنتين وسبعين فرقةفاحدى وسبعين فرقة في الناروواحدةفي الجنة, والذي نفس محمدبيده
لتفترقن امتي على ثلاث وسبعين فرقة, واحدةفي الجنةواثنتان وسبعون في النار".
قلوا: ومن هي يارسول الله؟ قا ل: "ما انا عليه واصحابي"[19].
(رواه الترمذي)[20]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Maksud
dari periwayat hadis dengan lafal adalah diman dalam meriwayatkan hadis
tersebut isi hadis atau matannya sama persis dengan apa yang disampaikannya
oleh Rasulullah. sedangkan maksud dari riwayh bil-mak’na adalah
periwayatan hadis yang isi atau matannya berbeda secara bahasa dari yang
disampaikan oleh Rasulullah, namun subtansi hadis tersebut tetap sama.
Meskipun
dalam sejarah hadis riwayah bil-ma’na telah diakui terjadi secara
besar-besarana, diantara para ulama masih terjadi perbedaan boleh atau tidaknya
riwayh bil-ma’na dilakukan. Bagi sebagian ulama yang menolaknya adalah seperti
ulama fiqh dan ulama ushul fiqh (Ibnu Sirin dan Abu bakar al-Razi), Abu Rayyah
yang menolak riwayah bil-ma’na, dengan argumentasi bahwa riwayah
bil-ma’na jurtru akan merusak maksud dari matan hadis dan juga seorang perawi
bukanlah sekelompok eksklusif yang tidak menutup kemungkinan mengurangi atau
menanmbahi, lupa, lemah ingatanya dalam meriwayatkan hadis. Sedangkan ulama
yang membolahkan seperti Ibnu Mas’ud, boleh apabila dalam keadaan darurat
karena tidak hafal persis seperti yang diwurutkan Rasulullah, dan harus dengan
hati-hati. Sebagian ulama yang lain adalah ulama salaf, ulama khalaf di bidang
hadis, fiqh dan ushul fiqh seperti imam empat dengan ketentuanya:pertama,
bahwa seorang perawi harus memiliki pengetahuan bahasa arab secara mendalam. Kedua,
seorang perawi harus mengetahui perubahan makna bila terjadi perubahan lafal.
DAFTAR
PUSTAKA
G. H. A. Juynboll, The
Authenticity Of The Literature Discussions In Modern Egypt, terjemah Ilyas
Hasan, Kontroversi Hadis Di Mesir (1890-1960), (Bandung: Mizan, 1999)
Mudasir, Ilmu
Hadis, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999)
Mahmud Thahhan, Taisir Mushthalah
al-Hadis, terjemah, A. Muhtadi Ridwan, Intisari Ilmu Hadis, (Malang:
UIN-Malang Pres, 2007)
Sa’id bin ‘Ali
bin Wahab al-Khatani, Nurul As-Sunnah Wa Dhulumatil Bid’ah,tp, tt.
Sulaiman
Abdullah, Sumber Hukum Islam; Permasalahan Dan Fleksibilitasnya,
(Jakarta: Sinar Grafika,1995)
[1] Mudasir, Ilmu
Hadis, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), 98.
[2] Ibid., 98.
[3] Ibid., 99.
[4] Ibid., 99.
[5] Al-Qur’an
merupakan wahyu dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui
Malaikan Jibril, sehingga dengan demikian bahasa Al-Qur’an tidak sama dengan
bahasa hadis yang boleh diriwayatkan dengan makna.
[6] Ibid., 14.
[7] Sulaiman
Abdullah, Sumber Hukum Islam; Permasalahan Dan Fleksibilitasnya, (Jakarta:
sinar grafika) 1995, 22-23.
[8] Mudasir., 99.
[9] Seorang teolog
ortodoks(kolot; fanatik; kuat memegang kepercayaan/ajaran lamanya) yang
memandang kebanyakan hadis yang termaktub dalam kitab-kitab himpunan hadis
benar adanya.
[10] G. H. A.
Juynboll, The Authenticity Of The Literature Discussions In Modern Egypt,
terjemah Ilyas Hasan, Kontroversi Hadis Di Mesir (1890-1960), (Bandung:
Mizan, 1999), 168.
[11] Ibid., 169.
[12] Nama lengkap
adalah Hamzah bin Habib az-Ziyat al Muqri’ adalah salah satu seorang dari tujuh
ahli pembaca al-Qur’an yang terkenal.
[13] Ibid., 170.
[14] Mahmud
Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadis, terjemah, A. Muhtadi Ridwan, Intisari
Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Malang Pres, 2007), 191.
[15] Mudasir, 120.
[16] Ibid., 120
[17] Sa’id bin ‘Ali
bin Wahab al-Khatani, Nurul As-Sunnah Wa Dhulumatil Bid’ah,Tp., 7.
[18] Nama
lengkapnya Abu Abdullah Muhammad ibn Yazid ibn Majah al-Rabi’i al-Qazwini.
Lahir di Qazwini tahun 209 H, wafat pada tahun 273 H. untuk mempelajari hadis
ia sampai pergi ke beberapa kota diantara adalah Irak, Hijaz, Syam, Mesir.
Tokoh-tokoh hadis yang dijumpainya adalah Abu Bakar ibn Abi Shaibah, Muhammad
ibn Abd Allah ibn Rumh, Ahmad ibn al-Azhar, dan Bashar ibn Adam.
[19] Ibid., 7.
[20] Nama
lengkapkanya adalah Imam al-Hafiz Abu Isa ibn Saurah ibn Musa ibn al-Dhahak
al-Sulami al-Tirmidhi. Lahir di kota Tirmiz pada bulan Dhulhijjah tahun 209
H/824 M dan wafat pada tahun 279 H. Ia belajar hadis sudah sejak kecil, dan
beberapa tempat yang didatanginya antara lain Bukhara, Hijaz, Irak, Khurasan.
Ia selalu mencatat dan menghafal hadis yang didengarnya dari ulama yang
ditemuinya (Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Qutaibah ibn Sa’ad, Ishak ibn Musa,
Mahmud ibn Ghailan, Sa’id ibn Abdurrahman, Muhammad ibn Bashar, Ali ibn Hajar,
Ahmad ibn Mani’, dan Muhammad ibn al-Musanna.