Al-Hulul
Oleh :Upik Khoirul
Abidin
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembahasan tetentang tasawuf sampai detik ini masih menjadi isu
yang menarik untuk didiskusikan, terutama di kalangan akademisi, meskipun
sebenarnya perkembangan tasawuf sudah dimulai sejak abad pertama dan kedua hijriah, yang mana
ajarannya masih bercorak akhlaqi, yakni berupa pendidikan moral dan mental
dalam rangka pembersihan jiwa[1] dari
pengaruh-pengaruh duniawi.[2]
Dengan berbagai literature yang menjelaskan bahwa tidak sedikit tokoh-tokoh
sufi yang matinya dibunuh karena ajaran-ajarannya dianggap kontradiktif oleh
ulama’-ulama’ fikih. Hal inilah yang membuat menarik ajaran-ajaran tasawuf
untuk selalu didiskusikan.
Kemudian memasuki abad ketiga dan keempat, ajaran tasawuf
berkembang luas, yang artinya tidak hanya berkutat pada wilayah pendidikan
moral dan mental, akan tetapi sudah merambah pada pembahasan tingkah laku dan
upaya peningkatan, pengamalan intuitif kepada Allah swt., kefanaan dalam realitas mutlak serta pecapaian
kebahagiaan.
Pada abab ini pula mulai bermunculan sufi-sufi besar dengan
berbagai pengalaman-pengalaman batin yang dialaminya. Sufi-sufi besar tersebut
adalah Rubiah al-Adawiyah dengan makhabahnya, Zu al-Nun al-Misri dengan
ma’rifanya, Abu Yazid al-Busstami dengan ittihadnya, yang kemudian sosok sufi
yang tidak kalah terkenalnya dengan ajaran al-Hululnya, yakni al-Hallaj[3].
Namun pada makalah ini akan terfokus pada ajaran tasawuf al-Hulul
yang dipelopori oleh al-Hallaj, yang disajikan dalam 3 pembahasan yakni,
biografi al-Hallaj, ajaran al-Hulul al-Hallaj, dan yang ketiga adalah kritik
ajaran al-Hulul.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi al-Hallaj
Sebagai pelopor ajaran al-Hulul, al-Hallaj memiliki nama lengkap Abu
al-Mughis al-Husain ibn Mansur ibn Muhammad al Baidawi. Cucu dari Muhammad yang
mana sebelum kakeknya ini masuk Islam, kakeknya adalah pemeluk agama Majusi
penyembah api. Namun juga ada yang mengatakan bahwa al-Hallaj ini keturunan
dari Abu Ayyub, salah satu sahabat Nabi Muhammad saw.[4]
Dari literature lain al-Hallaj ini memiliki nama lengkap Husein bin Mansur al-Hallaj.
Lahir pada tahun 244 H atau 858 M di salah satu kota kecil Persia, yakni kota
Baidha.[5]
Masa kecilnya ia habiskan di
kota Wasith dekat dengan Bagdad sampai usia 16 tahun. Diusia 16 ini ia mulai
meninggalkan kota Wasith untuk menuntut ilmu kepada seorang Sufi besar dan
terkenal, yakni Sahl bin Abdullah al-Tustur di negri Ahwaz. Kemudian setelah
belajar di negri Ahwaz ia pergi ke Bashrah dan belajar kepada Amr al-Makki.
Yang selanjutnya pada tahun 264 H. ia melanjutkan belajarnya kepada al-Junaid
di kota Baghdad yang merupakan seorang sufi besar pula. Selain besar
keinginannya mempelajari ilmu kepada tokoh-tokoh Sufi besar dan terkenal, ia
juga telah menunaikan ibadah Haji sebanyak tiga kali. Dari sini jelas tidak
diragukan bahwa pengetahuan tentang ajaran-ajaran tasawuf tidak diragukan.
Ketika tiba di mekah pada tahun 897 M, ia memutuskan mencari jalan sendiri
untuk bersatu dengan Tuhan, pada tahun ini bisa dikatakan al-Hallaj tealah
memulai pemikiran-pemikirannya tentang bagaiman menyatu dengan Tuhan. Namun
setelah ia menemukan cara bersatu dengan Tuhan dan menyampaikan ajaranya kepada
orang lain, ia justru dianggap sebagai orang gila, bahkan diancam oleh pengusa
Mekah untuk dibunuh, yang akhirnya ancaman tersebut membawanya untuk kembali ke
Baghdad.[6]
Dalam perjalanan hidupnya yang dihiasi buah hasil
pemikiran-pemikirannya di bidang tasawuf, ia sering keluar masuk penjaran
akibat konflik dengan ulama fikih,
konflik tersebut dipicu oleh pikiran-pikiran al-Hallaj yang dianggap ganjil.
Ulama fikih yang sangat besar pengaruhnya karena fatwanya untuk memberantas dan
membantah ajaran-ajaran al-Hallaj
sehingga ia ditangkap dan dipenjara adalah Ibn Daud al-Isfahani[7].
Tetapi setelah satu tahun dalam pejara, ia dapat meloloskan diri atas bantuan
seorang sipir penjara.
Untuk mencari pengamanan atas dirinya, dari bagdad ia melarikan
diri ke Sus, suatu wilayah yang terletak di Ahwaz. Kurang lebih empat tahun
bersembunyi di kota tersebut, dan tetap tidak mengubah pendiriannya tentang
ajaran-ajarannya, akhirnya ia ditangkap kembali dan dipenjarakan selama delapan
tahun. Meskipun telah lama hidup dalam penjara, tidak sedikitpun terkurangi
pendiriannya atas ajara-ajaranya tersebut. Sehingga pada tahun 309 H/921 M
mengharuskan para ulama di bawah pengawasan kerajaan Bani Abbas, masa Khalifah
Mu’tashim Billah, untuk mengadakan persidangan yang menghasilkan hukumam mati
pada al-Hallaj pada tanggal 18 Zulhijah di tahun yang sama. Seperti yang
dijelaskan oleh Arberry, sebelum hukuman mati dilakukan, al-Hallaj sebelumnya
dipukuli dan dicambuk, lalu disalib, yang kemudian dipotong kedua tangannya dan
kakinya, dipenggal lehernya, dan ditinggalkan tergantung bagian-bagian tubuh
itu di pintu gerbang kota Baghdad, dengan maksud untuk menjadi peringatan bagi
ulama lainnya yang berbeda pendirian, sungguh sangat sadis pembunuhan yang
dilakukan penguasa terhadap matinya seorang sufi ternama. Lebih lanjut, Arberry
melukiskan kasus pembunuhan terhadap al-Hallaj sebagai berikut:
“Tatkala dibawa
untuk disalib, dan melihat tiang salib serta paku-pakunya, ia menoleh kearah
orang-orang seraya berdoa, yang diakhiri dengan kata-kata:”Dan hamba-hamba-Mu
yang bersama-sama membunuhku ini, demi agama-Mu dan memenangkan karunia-Mu,
maka ampunilah mereka, ya Tuhan, dan rahmatilah mereka. Karena sesungguhnya,
sekiranya telah Kuanugerahkan kepada mereka yang telah Kau-anugerahkan
kepadaku, tentu mereka takkan melakukan yang mereka lakukan. Dan bila
Kusembunyikan dari diriku yang telah Kau-sembunyikan dari mereka, tentu aku
takkaan menderita begini. Maha Agung Engkau dalam segala yang Kau-lakukan, dan
Maha Agung Engkau dalam segala yang Kau-kehendaki[8]
Terkait kematian al-Hallaj dengan
hukuman mati sudah menjadi kesepakan bersama, namun yang sempai sekarang
menjadi perdebatan adalah proses pembunuhannya dan sebab-sebab kenapa ia
dibunuh, apakah ia dibunuh dengan cara disalib seperti yang digambarkan oleh
Arberry, kalau memang iya, betapa kejamnya para penyiksa itu. Kenapa mereka
tega melakukan hal tersebut. Apakah benar sebab dijatuhinya hukuman mati karena
perbedaan paham dengan ulama fikih yang dilindungi oleh pemerintah? Jika karena
hal tersebut, mengapa tokoh-tokoh sufi lain seperti Zun al-Nun al-Misri, Ibn
Arabi dan lainnya tidak dijatuhi hukuman mati pula. Hal ini kiranya yang patut
dipertanyakan dan layak untuk didiskusikan untuk mencari karena apa al-Hallaj
dijatuhi hukuman mati.
Ada versi lain terkait sebab
dibunuhnya al-Hallaj, seperti yang dijelaskan harun Nasution. Menurutnya, al-Hallaj
dibunuh bukan karena perbedaan pendapat dengan ulama fikih, melainkan karena
dituduh memiliki hubungan dengan gerakan Qaramitah[9].
Jika tuduhan itu benar adanya, al-Hallaj, secara pilitis dan idiologis memang
salah dan patut dijatuhi hukuman mati, namun jika yang dituduhkan itu hanyalah
tuduhan belaka, betapa besar dosa bago orang-orang yang membunuh al-Hallaj.
Lantas siapakah yang benar di antara mereka, apakah al-Hallaj ataukah merekan
yang membunuhnya, biar keadilah akhirat yang menghakimi dengan seadil-adilnya.
.
B.
Ajaran al-Hulul
al-Hallaj
Secara etimologi, kata al-Hulul bentuk masdar dari fi’il : يحل
– حل yang berati “bertempat di” atau “tinggal di”.
Sedangkan kata adalah isim al-makan dari kata la di atas, berarti tempat
yang ditempati. Dikaitkan dengan konsep al-Hulul tersebut, maka tubuh manusia
dapat disebut mahall[10].
Sedangkan menurut terminology, al-Hulul merupakan ajaran yang
menyatakan bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
bersemayam di dalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat
kemanusiaan dalam tubuhnya dilenyapkan terlebih dahulu.[11]
Atau dengan bahasa lain al-Hulul berate Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yaitu manusia yang telah mampu melenyapkan sifat-sifat
kemanusiaanya melalui fana[12].
Menurut al-Hallaj,
mengapa Tuhan dapat mengambil tubuh manusia karena pada diri manusia memiliki
dua sifat dasar, yakni sifat lahut (ketuhanan) dan sifat nasut
(kemanusiaan), begitu juga dengan Tuhan, yang memiliki sifat kemanusiaannya di
samping sifat ketuhanan-Nya. Atas dasar inilah maka sangat mungkin persatuan
antara Tuhan dengan manusia bisa terjadi, dan persatuan ini yang disebut
al-Hulul (mengambil tempat) oleh al-Hallaj.[13]
Paham yang diyakininya itu berasal dari konsep penciptaan Adam,
menurutnya, sebelum Tuhan menciptakan makhluk-makhluk-Nya. Dia hanya melihat
dirinya sendiri, yang kemudia dalam kesendiriannya itu terjadi dialog antara
dia dengan dirinya sendiri, sebuah dialog yang di dalamnya tiada satupun
kata-kata maupun huruf-huruf. Yang dilihatnya hanyalah kemuliaan dan ketinggian
Zat-Nya. Zat yang sangat Dia cintai, cinta yang tidak dapat disifatkkan seperti
cinta lain, sebuah “cinta” yang menjadikan sebab dari segala sesuatu yang ada
(Makhluk-Nya). Kemudian Dia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk copy dari
diri-Nya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk copy ini adalah Adam, Dia
menciptakan Adam, kemudian Dia memuliakannya dan mengagungkannya. Dia sangat
mencintai Adam, dan dalam diri Adam Allah muncul dalam bentuknya, dengan
demikian dalam diri Adam terpancar sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang
pancaran itu berasal dari tuhan sendiri. Sehingga, dapat dipahami bahwa menusia
memiliki sifat ketuhanan dalam dirinya[14].
Pendapat al-Hallaj ini juga dipertegas dengan ayat al-Qur’an :
øÎ) $oYù=è%
Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$#
tPyKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§Î=ö/Î)
4n1r& uy9õ3tFó$#ur tb%x.ur
z`ÏB úïÍÏÿ»s3ø9$#
Artinya: “Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu
kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur
dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir”.(QS. Al-Baqarah, 2:34)
Menurutnya, ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah telah memerintahkan
kepada para Malaikat untuk bersujud kepada Adam, karena pada diri Adam Allah
telah bersemayam. Keyakinan bahwa Allah telah bersemayam dalam diri Adam ini
juga didasari dari sebuah hadis yang sangat berpengaruh di kaangan Sufi, yakni
: “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya”.
Dari ayat dan hadist tersebut, al-Hallaj berkesimpulan bahwa dalam
diri manusia memiliki sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusian (nasut).
Jika sifat ketuhanan yang ada pada diri manusia dapat bersatu dengan sifat
kemanusian pada diri Tuhan, maka terjadilah Hulul, numun untuk mencapai pada
tingkatan tersebut, manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat
kemanusiaanya melalui proses al-fana.
Bukti-bukti lain tentang sifat lahut dan nasut Tuhan
adalah syair-syairnya yang berbunyi : “ Maha suci diri Yang sifat
kemanusian-Nya. Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian
kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata. Dalam bentuk manusia yang makan dan
minum”[15].
Selanjutnya, al-Hallaj sebagai pelopor ajaran al-Hulu; dapat
dilihat dari beberapa syair-syairnya sebagai berikut:
“Jiwa-Mu
disatukan dengan jiwaku. Sebagaiman anggur disatukan dengan air suci. Jika
engkau disentuh, aku tersentuh pula. Maka, ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah
aku”.
Syair lain adalah:
“Aku adlah Dia
Yang kucintai. Dan Dia yang kucintai adlah aku. Kami adlah dua jiwa yang
menempati satu tubuh. Jika engkau melihat aku, engkau lihat Dia. Dan jika
engkau lihat Dia, engkau lihat kami”[16].
Syair-syair ini sebagai bukti bahwa al-Hallaj
meyakini jika manusia mampu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui
proses fana, maka ia akan bisa bersatu dengan Tuhan-Nya atau yang dia sebut
dengan Hulul.
Ada dua poin yang dapat di ambil
dari konsep hulul al-Hallaj ini. Pertama, dengan adanya kata-kata cinta
yang dikemukakan al-Hallaj, maka al-Hulul merupakan pengembangan atau bentuk
lain dari “mahabbah” yang dipelopori oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Kedua,
al-Hulul tak lain juga ittihad atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan. Akan tetapi
menurut Harun Nasution, persatuan rohaniah dengan Tuhan yang dialami Abu Yazid dalam
ittihadnya itu berbeda dengan apa yang dialami oleh al-Hallaj (dengan paham al-Hululnya).
Jika Abu Yazid bersatu dengan Tuhan-Nya, dia merasa dirinya hancur dan yang ada
hanyalah diri Tuhan atau hanya ada satu wujud, yaitu Tuhan. Sedangkan al-Hallaj
meskipun saat mengalami Hulul, ia tidak hancur. Hal ini dapat dilihat dari
syairnya yang berbunya “ Aku adalah rahasia Yang Maha Benar. Yang Maha Benar
bukanlah aku. Aku hanya satu dari Yang Maha Benar. Maka bedakanlah antara
kami”. Dari syair ini sangat jelas bahwa dalam ajaran al-Hulul ada dua wujud
yang bersatu dalam satu tubuh manusia yang telah dipilih Tuhan untuk
ditempatinya.
Perbedaan lain antara ittihad dengan al-hulul adalah Abu Yazid
mengalami persatuan dengan Tuhan dengan cara dia naik ke langit, sementtara
al-Hallaj mengalami persatuan dengan jalan Tuhan yang turun ke bumi dan
bersemayam di dalam dirinya.
C.
Kritik ajaran
al-Hulul al-Hallaj
Ajaran al-Hulul yang dibawa oleh al-Hallaj ini masih menua
kejanggalan bagi ulama-ulama lain, contohnya Syekh Abu Nashr as-Sarraj, pernah
berkata : “Kami mendengar bahwa kelompok aliran al-Hulul berpendapat, bahwa
al-Haq swt. Memilih jisim (jasad) yang Dia bertempat di dalamnya dengan
makna-makna Ketuhanan (ar-Rububiyyah) dan menghilangkan dari sifat-sifat
manusiawi (al-basyariyyah)”[17].
Menurutnya, jika pendapat di atas benar, maka aliran al-hulul ini
telah melakukan kesalahan dalam madzabnya yang menyatakan bahwa sesuatu yang
ada pada sesuatu yang lain itu sejenis dengan sesuatu yang ditempati. Karena
yang Haq itu sangatlah berbeda dengan segala sesuatu. Adapun yang Dia tempatkan
pada sesuatu tersebut hanyalah bekas dan jejak ciptaan-Nya dan bukti
Rububiyyah-Nya. Allah hanya bisa disifati dengan apa Allah sifati untuk
diri-Nya, sebagaimana Dia telah memberi Sifat pada Diri-Nya sendiri, hal ini
juga dijelaskan dalam al-Qur’an Surat asy-Syura ayat 11 :
t ãÏÛ$sù
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur 4 @yèy_
/ä3s9
ô`ÏiB
öNä3Å¡àÿRr&
$[_ºurør& z`ÏBur ÉO»yè÷RF{$#
$[_ºurør& ( öNä.ätuõt
ÏmÏù
4 }§øs9
¾ÏmÎ=÷WÏJx.
Öäïx« ( uqèdur
ßìÏJ¡¡9$# çÅÁt7ø9$#
ÇÊÊÈ
Artinya: “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu
dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak
pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu.
tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar
dan melihat”.
Ayat ini jelas menyatakan bahwa
tidak ada satupun yang mampu menyerupai-Nya, jika mereka (penganut al-hulul) masih
tidak mampu membedakan antara qudrat (kekuasaan) yang merupakan sifat
Kekuasaan (maqadir) dengan bukti-bukti yang menunjukkan akan Kekuasaan
Sang Maha Kuasa dan ciptaan Sang Pencipta dan mereka tetap mengamini dengan apa
yang mereka pahami, maka mereka dapat dinilai sesat atau kafir atau mereka
sebenarnya bukanlah orang-orang yang memiliki cinta sebenarnya (mahabbah),
cinta kepada-Nya[18].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Aj-Hallaj adalah
pelopor ajaran al-Hulul, suatu ajaran yang menyatakan bahwa Tuhan memilih tubuh
manusia untuk mensemayam jika manusia tersebut mampu menghilangkan sifat-sifat
kemanusiannya (nasut). Sebab manusia memiliki sifat dasar ketuhanan (lahut)
begitu juga dengan Tuhan yang memiliki sifat kemanusiaan di samping sifat
Ketuhanan-Nya.
2.
Al-Hallaj merupakan
Sufi besar dan ternama dijamannya. Dan ia tidak pernah gentar untuk dipenjara,
disiksa, bahkan dihukum mati demi mempertahannkan pemikirannya.
3.
Al-Hulul juga
merupakan pengembangan dari “mahabbah” yang dipelopori Rabi’ah al-Adawiyah dan
juga bentuk lain dari ittihad Abu Yazid, nanum yang membedakan adalah ketika
Abu Yazid bersatu dengan Tuhan (sedang mencapai tingkatan ittihad), maka yang
terlihat hanya satu yakni Tuhan dan diri Abu Yazid seolah menghilang atau
hancur, dan proses ini terjadi dengan cara Abu Yazid naik ke langit. Sementara
al-Hallaj ketika mencapai tingkatan hulul, ia tidak hilang atau hancur,
melainkan dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh. Dan proses ini tercadi
dengan cara Tuhan yang turun ke bumi untuk bersemayam di dalam tubuh al-Hallaj.
DAFTAR PUSTAKA
C.
Chittick, William, Tasawuf Di Mata Kaum Sufi, Bandung: Mizan, 2002.
Hawwa,
Sa’id, Jalan Ruhani, Bandung: Mizan, 1997, Cet. V.
Nata,
Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Cet.
Ke 10.
Nashr
as-Sarraj, Abu, Al-Luma’ Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf, Surabaya: Risalah
Gusti, 2002.
Suryadilaga,
Alfatih dkk, Miftahus Sufi, Yogyakarta: Teras, 2008.
Syihabuddin
Umar Suhrawardi, Syaikh, ‘Awarif Al-Ma’arif, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
[1]
Kata jiwa di
dalam Al-Qur’an menggunakan istilah Nafs, lihat William C. Chittick, Tasawuf
Di Mata Kaum Sufi, (Bandung: Mizan, 2002), 86. Istilah Nafs menurut
kaum sufi memiliki dua makna, petama adalah cakupan makna dari kekuatan
amarah dan syahwat (nafsu birahi) dalam diri manusia, atau merupakan dasar
sifat-sifat tercela manusia. Yang kedua adalah perasaan halus
(lathifah), ia adalah jiwa dan hakikat manusia. Nafs bisa bersifat
multidimensi tergantung pada keadaannya, bila ada di bawah “perintah”, sehingga
keresahannya meninggalkannya karena bertentangan dengan syahwat, maka itu
disebut an-nafsul-muthma’innah (jiwa yang tentram), seperti yang
dijelaskan dalam al-qur’an surat al-fajr ayat 27-28 yang artinya: Hai jiwa
yang tenang.Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
Lihat Sa’id Hawwa, Jalan Ruhani, (Bandung: Mizan, 1997), 46.
[2] M. Alfatih
Suryadilaga, dkk, Miftahus Sufi,
(Yogyakarta: Teras, 2008),163.
[3] Ibid., 164
[4] Ibid., 166
[5] Abudin Nata, Akhlak
Tasawuf,(Jakarta:PT Rajagrafindo Persada, 2011), Cet X, 242.
[6] Alfatih, 167
[7] Seorang ulama
fikih yang dikenal dengan penganut mazhab Zahiri,yaitu suatu mazhab yang hanya
mementingkan zahir nas ayat belaka. Lihat, Abudin Nata, 242.
[8] Ibid., 243.
[9] Qaramitah
adalah suatu sekte Syi’ah yang dibentuk oleh Hamdan ibn Qarmat di akhir abab IX
M. sekte ini memiliki paham komunis (harta benda dan perempuan terdiri dari
kaum petani milik bersama), mengadakan terror, menyerang Mekah di tahun 930 M,
merampas hajar aswad yang dikembalikan kaum Fatimi di tahun 951 M dan menentang
pemerintah Bani Abbas, mulai dari abab X sampai abab XI. Ibid., 244.
[10] Alfatih., 170.
[11] Ibid., 170.
[12] Abudin Nata.,
239.
[13] Alfatih., 170.
[14] Ibid., 171.
[15] Ibid., 172.
[16] Ibid., 173.
[17] Syekh Abu
Nashr as-Sarraj, al-Luma’(Lajnah Nashr at-Turats ash-Shufi), Terj oleh
Wasmukan dan Samson Rahman (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), 871.
[18] Cinta (mahabbah)
menurut para sufi adalah anugerah-anugerah (mawahib) atau kecenderungan
hati untuk memperhatikan keindahan dan kecantikan-Nya. Syaikh Syihabuddin Umar
Suhrawardi, ‘Awarif Al-Ma’arif, ( Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), 185.