ITTIHAD
By: Mas Upik
A.
Latar Belakang
Eksistensi
tasawuf terlahir dari kehidupan zuhud,[1]
yang dilakoni oleh sebagian orang di Kufah dan Basrah. Mereka memilih hidup
sederhana dan asketis yang berfokus pada Tuhan.2 Salah satu dasar keinginan
mereka adalah pendekatan dengan Tuhan secara langsung, personal, dan mendalam
(kontemplasi). Dalam mengambil langkah ini, manusia mengikuti
ketentuan-ketentuan yang diajarkan Islam sebagai pedoman untuk diikuti dan
diyakini. Manusia menaiki tangga-tangga dari satu tingkat ke tingkat lainnya
untuk mencapai jalan spiritualitas atau maqam.3 Kecintaan kepada Allah
(mahabbah), merupakan etape tertinggi dalam tasawuf, dimana perasaan lainnya,
seperti rindu, kangen, dan rida berturut-turut mengikut pada rasa kecintaan.4
Menurut Syekh Abd Al-Qadir Jilâni, tidak ada lagi maqam atau step berikutnya
setelah tingkat mahabbah, karena mereka telah mencapai derajat yang sangat
dekat dengan Allah. Mereka telah menanggalkan semua kenikmatan dan
keuntungan-keuntungan dunia ini dan merasakan nikmat kebahagiaan yang berupa
alam spiritual, yaitu kedekatan dengan Allah SWT.
Kemudian
memasuki abad ketiga dan keempat, ajaran tasawuf berkembang luas, yang artinya
tidak hanya berkutat pada wilayah pendidikan moral dan mental, akan tetapi
sudah merambah pada pembahasan tingkah laku dan upaya peningkatan, pengamalan
intuitif kepada Allah swt., kefanaan
dalam realitas mutlak serta pecapaian kebahagiaan.
Pada
abab ini pula mulai bermunculan sufi-sufi besar dengan berbagai
pengalaman-pengalaman batin yang dialaminya. Sufi-sufi besar tersebut adalah
Rubiah al-Adawiyah dengan makhabahnya, Zu al-Nun al-Misri dengan ma’rifanya,
Abu Yazid al-Busstami dengan ittihadnya.
Sebagaimana Abu Yazid al-Bisthami, sebagai salah satu tokoh yang
sangat populer di kalangan sufi yang condong pada pemikiran falsafi di mana
beliau yang pertama kali melahirkan konsep al-fana dan al-baqa serta konsep
ittihad. Ia juga pionir aliran eksotik (‘mabuk’) dalam sufisme. Ia juga dikenal
karena keberaniannya dalam mengekspresikan peleburan mistik menyeluruh kepada
ketuhanan[2].
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Ittihad (Abu Yazid Al- Busthami)
1.
Biografi Abu Yazid al-Busthami
Seorang konseptor tentang Ittihad adalah Abu Yazid al-Busthami,
nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Busthami. Dia dilahirkan
sekitar tahun 200 H / 814 M di Bustam, salah satu di daerah Qumais, bagian
Timur Laut Persia[3].
Ia salah seorang tokoh sufi yang terkenal dalam abad ketiga hijriah[4]. Kemudian
ia meninggal pada tahun 261 H / 875 M, dan makamnya masih ada hingga saat ini[5].
Makamnya yang terletak di tengah-tengah kota, menarik banyak pengunjung dari
berbagai tempat. Ia dikuburkan berdampingan dengan kuburan Hujwiri, Nasir
Khusraw dan Yaqut. Pada tahun 1313 M didirikan di atasnya sebuah kubah yang
indah oleh seorang sultan Mongol, Muhammad Khudabanda atas nasehat gurunya
Syekh Syafruddin, salah seorang keturunan dari Bustham[6].
Waktu kecil ia bernama Thaifur, kakeknya Surusyan adalah seorang
penganut agama Zoroaster, kemudian masuk Islam. Sebagaimana anak dan remaja
muslim lainnya, ia pada masa mudanya mendalami al-Qur'an dan hadits. Ia juga
menekuni fiqih Hanafi, kemudian dia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid
dan ilmu hakikat begitu juga tentang fana dari Abu Ali Sindi[7],
sehingga tidak diragikan bahwa di masa mudanya ia sudah memiliki pengetahuan
agama yang luarbiasa.
Abu Yazid al-Busthami adalah seorang zahid yang terkenal. Menurutnya
zahid itu adalah seseorang yang mampu atau bisa mendo’akan dirinya untuk selalu
berdekatan dengan Allah. Menurutnya hal ini dapat ditempuh melalui tiga fase atau tahapan, yaitu:
pertama zuhud terhadap dunia, kedua zuhud terhadap akhirat, dan ketiga
zahid terhadap selain Allah. Dalam tahapan terakhir ini dia berada dalam
kondisi mental yang membuat dirinya tidak mengingat apa-apa selain Allah[8],
yang ada hanyalah Allah belaka.
Abu Yazid juga seorang sufi yang membawa faham yang berbeda dengan
ajaran tasawuf yang dibawa oleh para tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Ajaran yang
dibawanya banyak di tentang oleh para ulama fiqih dan tauhid, yang menyebabkan
dia keluar masuk penjara.
Dia
memiliki banyak pengikut, yang percaya dengan ajaran-ajaran yang diajarkannya.
Pengikut-pengikutnya menamakan dirinya thaifur[9]. Sayang
sekali bahwa al-Busthami, yang berusia panjang dan kaya dengan
pengalaman-pengalaman kesufian, tidak meninggalkan karya tulis. Ajaran
pandangannya hanya dapat diketahui melalui catatan-catatan yang dibuat oleh
para muridnya, atau oleh tokoh-tokoh sufi lainnya yang pernah berjumpa
dengannya. Jika tidak ada pengarang seperti al-Attar, orang tidak akan
mengenalnya sama sekali. Beberapa catatan mengenai hidupnya hanya berupa
anekdot-anekdot sufi belaka. Beberapa pendiriannya, misalnya mengenal
pengertian sakar, mabuk dalam mencintai Allah, berbeda dengan paham Junaid
al-Baghdadi. Kata-kata yang diucapkannya acapkali mempunyai arti dan makna yang
begitu dalam, sehingga jika ditangkap secara lahir seakan-akan membawa kepada
syirik, karena mempersatukan antara Allah dan manusia. Dalam sejarah
perkembangan tasawuf, Abu Yazid dipandang sebagai pembawa faham fana dan baqa
serta sekaligus pencetus paham ittihad. Ketiganya merupakan tiga aspek dari
satu pengalaman yang terjadi setelah tercapainya makrifah.
2.
Pokok Pemikiran Abu Yazid al-Busthami
a.
Al-Fana dan al-Baqa
Fana menurut pengertian bahasa berasal dari kata fana- yafni-
fana’ yang berarti hilang hancur[10].
Sedangkan baqa’ berasal dari kata baqiya- yabqa- baqa’ yang berarti al-
dawam atau terus menerus, ada terus, terus hidup, tidak lenyap dan tidak
hancur.
Dalam pengertian tasawuf, fana tidak dapat dipisahkan dari baqa’
sebab merupakan sisi lain dari fana.
Fana dalam pengertian istilahnya adalah suatu tingkatan pengalaman spiritual
sufi yang tertinggi menjelang ke tinggkat ittihad, yaitu persatuan mistis
antara sufi dan tuhan. Fana jauh lebih berbeda dengan al-fasad (rusak), fana
artinya tidak kelihatannya sesuatu, sedang al-fasad adalah berubahnya sesuatu
kepada sesuatu yang lain. Konsep ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu
Sina di mana ketika membedakan antara benda- benda yang bersifat samawiyah dan
bersifat alam, di mana ia mengambil konklusi bahwa keberadaan benda alam itu
berdasarkan permulaannya, bukan perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang
lain, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana bukan dengan fasad[11].
Adapun makna fana dalam pandangan kaum sufi adalah hilangnya
kesadaran pribadi dengan dirinya dan dari makhluk lainnya sebenarnya dirinya
tetap sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya[12]..
Dalam konteks lain fana mengandung pengertian gugurnya sifat-sifat tercela,
makna lainnya bergantung sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan[13].
Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya seesensi dengan
Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu meleburkan eksistensi sebagai
suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana an-nafs). Fana
an-nafs adalah hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu ke dalam iradah
Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan dzat Allah[14]. Dengan
fana, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan bahwa ia telah
berada dekat dengan Tuhan, hal ini dapat dilihat dari kalimat-kalimat bersayap
yang belum dikenal sebelumnya (syathahat)[15]
yang dia ungkapkan, seperti : “Tidak ada Tuhan selain Aku. Maha Suci Aku, Maha
Suci Aku, Maha Besar Aku”.
Al-Bisthami pernah mengatakan bahwa ketika ia naik haji untuk
pertama kali, yang ia lihat adalah bangunan Ka’bah dan dirinya, kemudian ia
naik haji lagi, maka selain melihat bangunan Ka’bah dan dirinya, ia merasakan
Tuhan Ka’bah. Pada haji ketiga, ia tidak merasakan apa-apa lagi kecuali Tuhan
Ka’bah.
Tentang kefanaan Abu Yazid al-Bisthami ini pernah dikisahkan oleh
sahabatnya. Zunnun al-Mishri mengutus untuk menemui Abu Yazid, ketika utusan
itu sampai, diketuklah pintu rumah Abu Yazid, terjadilah percakapan antara tamu
dengan Abu Yazid :
Abu
Yazid : “Siapa di luar?”
Utusan
: “ Kami hendak berjumpa
dengan Abu Yazid”
Abu Yazid : “Abu Yazid
siapa? Dimana dia? Sayapun mencari Abu Yazid”[16].
Rombongan utusan itupun pulang dan kemudian memberitahukan kepada
Zunnun. Mendengar keterangan itu Zunnun berkata : “Sahabatku Abu Yazid telah
pergi kepada Allah dan dia sedang fana”.
Kejadian yang menimpa Abu Yazid ini disebabkan keinginannya untuk
selalu dekat dengan Tuhan. Bahkan ia selalu berusaha untuk mencari jalan agar
selalu berada di hadirat Tuhan. Ia pernah berkata : “Aku bermimpi melihat
Tuhan”, Akupun bertanya : “Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu?”. Ia
menjawab : “Tinggalkan dirimu dan datanglah”.
Menurut
Abu Yazid ada empat situasi gradual dalam proses fana[17],
yakni :
a.
Tingkatan fana yang paling rendah yaitu fana yang dicapai atau
dihasilkan melalui mujahadah.
b.
Tingkatan fana terhadap kenikmatan surga dan kepedihan siksa neraka
c.
Fana terhadap pemberian Allah
d.
Fana terhadap fana itu sendiri (fana al-fana)
Apabila seseorang telah mencapai fana pada tahap akhir, seseorang
akan secara totalitas lupa terhadap segala sesuatu yang sedang terjadi padanya.
Hatinya sudah tidak lagi terisi oleh kesan apapun yang ditangkap oleh panca
indera.
Konsekuensi dari terjadinya fana itu, maka terjadi pulalah baqa.
Secara harfiah baqa berarti kekal. Sedangkan dalam kaca mata sufi baqa
mengandung makna, kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam
diri manusia. Sedangkan menurut Abu Yazid baqa adalah hilangnya sifat-sifat
kemanusiaan yang dirasakan hanyalah sifat-sifat Tuhan yang kekal dalam dirinya
dengan kata lain merasa hidupnya selaras dengan sifat-sifat Tuhan[18],
sistem kerja fana-baqa ini selalu beriringan, sebagaimana yang dikemukakan oleh
para ahli tasawuf[19] :
اِذَا
اَشْرَقَ نُوْرُ الْبَقَاءِ فَيَفْنَ مَنْ لَمْ يَكُنْ وَيَبْقَ مَنْ لَمْ يَزَلْ
“Apabila
nampaklah Nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal”
Kata al-Bisthami, “Ia telah membuat aku gila pada diriku sehingga
aku mati, kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup”, aku berkata
: bila pada diriku adalah kehancuran (fana) sedang gila pada-Mu adalah
kelanjutan hidup (baqa)”. Al-Bisthami juga berkata : “Aku tahu pada Tuhan
melalui diriku, sampai aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya,
maka aku hidup”. Untuk mencapai station al-baqa ini seseorang perlu melakukan
perjuangan dan usaha-usaha yang keras dan kontinyu, seperti dzikir, beribadah,
dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji.
Jika dilihat dari sisi lain, yang disebut fana dan baqa itu dapat
pula disebut sebagai ittihad.
b.
Ittihad
Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana dalam
pengertian tersebut di atas, maka pada saat itu ia telah dapat menyatu dengan
Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-baqa. Di dalam perpaduan dirinya ia
menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah
yang dimaksud dengan ittihad. Dalam ajaran ittihad sebagai salah satu metode
tasawuf dikatakan oleh al- baidawi, yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun
sebenarnya yang ada dua wujud yang terpisah dari yang lain. Karena yang dilihat
dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisaterjadi
pertukaran peran antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (tuhan)
atau tegasnya natara sufi dan tuhan[20].
Faham ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari faham fana dan
baqa. Ungkapan Bayazid berikut ini akan memperjelas pengertian ittihad. Bayazid
berkata[21] :
رفعنى الله عزة فأ قامنى بين يديه
وقال لى يا أبا يزيد : ان خلقى يحبون ان يروك فقلت زينى بوحد انيتك والبسنى انا
نيتك وارفعنى الى احاديتك حتى اذا ارانى خلقك. قالوا رايناك فتكون انت ذاك ولا
اكون اناهناك.
Dan
pada kesempatan lain beliau berkata : “Pada suatu ketika aku dinaikkan ke
hadirat Tuhan dan ia berkata : ‘Hai Zayid, makhluk-Ku ingin melihat engkau’.
Aku menjawab : ‘Kekasihku, aku ingin melihat mereka, tetapi jika itulah kehendak-Mu,
maka aku tak berdaya menentang kehendak-Mu, hiasilah aku dengan keesaan-Mu,
sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata : “Telah kami lihat
Engkau”. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah engkau, karena itu aku tak
ada di sana”. Situasi ittihad itu diperjelas lagi dalam ungkapannya : “Tuhan
berkata : semua mereka kecuali Engkau, adalah makhlukku. Akupun berkata : Aku
adalah engkau, Engkau adalah Aku”. Ungkapan kata Abu Yazid ini telah mendapat
tanggapan, bahkan kecaman dari para ulama di zamannya. Bagi para ulama yang
toleran menilainya sebagai suatu penyelewengan, tetapi bagi ulama yang ekstrim
menilainya sebagai suatu kekufuran. Namun ada pula yang menilainya merupakan
kasus tertentu bagi seorang sufi dan kata-kata yang dilontarkan adalah
kata-kata yang terlontar di kala kondisi kejiwaannya tidak stabil. Dalam
kondisi seperti ini, seorang sufi tidak sepenuhnya bisa mengandalkan diri
pribadinya, dan dia pada saat itu tidak mampu lagi mengendalikan dirinya.
Dalam situasi ittihad, seorang sufi telah
merasa dirinya menyatu dengan tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan
yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat
memanggil yang satu dari mereka dengan kata- kata “Hai aku”. Dalam teks arabnya
kata tersebut berbunyi:
فيقول
الواحد للاخر, يا انا
Maka
yang satu kepada yang lainnya mengatakan “Aku”.
Dengan demikian jika
seorang sufi mengatakan misalnya maha suci aku, maka yang dimaksud aku di situ
bukan sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan roninya dengan
tuhan, melalui fana dan baqa’[22].
Tokoh sufi yang memiliki
konsep yang mirip dengan itihad adalah Al-Halaj dengan Al-Hulul-nya, dimana
hulul ini juga merupakan pengembangan dari “mahabbah”[23]
yang dipelopori Rabi’ah al-Adawiyah dan juga bentuk lain dari ittihad Abu
Yazid, nanum yang membedakan adalah ketika Abu Yazid bersatu dengan Tuhan
(sedang mencapai tingkatan ittihad), maka yang terlihat hanya satu yakni Tuhan
dan diri Abu Yazid seolah menghilang atau hancur, dan proses ini terjadi dengan
cara Abu Yazid naik ke langit. Sementara al-Hallaj ketika mencapai tingkatan
hulul, ia tidak hilang atau hancur, melainkan dua wujud yang bersatu dalam satu
tubuh. Dan proses ini tercadi dengan cara Tuhan yang turun ke bumi untuk
bersemayam di dalam tubuh al-Hallaj.
3.
Konsep Fana, Baqa’ dan Ittihad dalam Pandangan Al- Qur’an
Paham
fana dan baqa’ untuk mencapai ittihad itu dipandang oleh seorang sufi sejalan
dengan konsep liqa’ al- rabbi
menemui Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang berbunyi:
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ
وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا
يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (١١٠)
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu,
yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan
yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al- kahfi: 110)
Paham
ittihad ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin meliha
Tuhan. Musa berkata: “Ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepada- Mu?”. Tuhan
berfirman: Tinggallah dirimu (lenyapkanlah dirimu) baru kamu kembali (bersatu).
Ayat
dan riwayat tersebut seolah member ruang dan petunjuk bahwa Allah SWT, telah
member peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah atau
batiniah, yang caranya antara lain dengan beramal saleh, beribadat semata- mata
karena Allah, menghilangkan sifat- sifat dan akhlak yang buruk, meninggalkan
dosa dan maksiat, dan kemudian menghiasi dengan sifat- sifat Allah, yang
kesemuanya tercakup dalam konsep fana dan baqa’[24].
Adanya konsep fana dan baqa’ ini dapat dipahami dari isyarat yang disampaikan
dalam firman Allah:
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ
(٢٦)وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ (٢٧)
26. semua yang ada di bumi itu akan binasa.
27. dan tetap
kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
(QS. Ar- Rahman:
26- 27)
KESIMPULAN
Dari pemaparan sederhana makalah saya ini kiranya dapatlah ditarik
benang merah bahwa konsep yang ditawarkan al- Bustami tentang Tuhan dan manusia
dipahami memiliki dua sifat yang sama. Suatu saat apabila manusia telah
berhasil menghilangkan sifat kemanusiaannya dengan membersihkannya melalui
berbagai ibadah yang tulus ikhlas hanya mencari ridha Allah, maka dipastikan
dapat bertemu dan menyatu dengan sifat Allah. yang kemudian konsepsi ini
disebut dengan ittihad. Fana dan baqa’ sebagai perantaranya. Sebaliknya,
apabila manusia tanpa mau berusaha menghilangkan atau melenyapkan sifat
kemanusiaannya, maka dipastikan sulit bertemu dan menyatu dengan Tuhannya.
Bustami adalah pelopor ajaran idtihat, suatu ajaran yang menyatakan
bahwa manusia mampu bersatu dengan Tuhan (sedang mencapai tingkatan ittihad),
maka yang terlihat hanya satu yakni Tuhan dan diri Abu Yazid seolah menghilang
atau hancur, dan proses ini terjadi dengan cara Abu Yazid naik ke langit
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata,
Akhlak Tasawuf, (Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 2002)
Prof. Dr. Abu Bakar Aceh,
Pengantar
Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo: Ramadhani, 1993)
Drs. Asmaran As, MA,
Pengantar Studi
Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994)
Asmuni, Yusran,
Pertumbuhan dan
Perkembangan Berfikir dalam Islam, (Surabaya:
al-Ikhlas, 2001)
Fariduddin al-Athtai,
Kisah-Kisah
Sufi Agung, terj. (Jakarta: Pustaka Zahra, 2005)
Prof. Dr. H. Ahmadi Isa, MA,
Tokoh-Tokoh
Sufi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001)
Prof. Dr. Hamka,
Tasawuf dan
Perkembangannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas,1983)
IAIN Syarif Hidayatullah,
Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1993)
Imam al-Qusyairy an-Naisabury,
Risalatul
Qusyairiyah, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997)
Drs. Moh. Saifullah al-Azis S,
Risalah
Memahami Tasawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 1998)
Mustafa Zahri,
Kunci Memahami
Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985)
Prof. Dr. Riva’y Siregar,
Tasawuf
dan Sufisme Klasik ke Neosufisme, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999)
[1] Timbulnya
aliran zuhud ini disebabkan kekecewaan atas hidup mewah dan dosa-dosa yang
dilakukan oleh Bani Umayyah pada abad kedua Hijriyah. Zuhud dalam Islam
bukanlah meninggalkan dunia seutuhnya, tetapi menempatkan dunia sebagai
pelengkap, bukan sebagai prioritas utama dan tujuan. Islam tidak pernah
sekalipun mengajarkan umatnya untuk miskin dan fakir. Zuhud menurut sufi,
berarti terbebas dari belenggu syahwat dan dunia. M. Alfatih Suryadilaga et.al,
Miftahus Sufi. (Yogyakarta: Teras, 2008). 32-33, 111.
[2]
Fariduddin
al-Athtai, Kisah-Kisah Sufi Agung, terj. Yudi, (Jakarta: Pustaka Zahra,
2005), 187.
[4] Abu
Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo: Ramadhani, 1993),
258.
[5] Syarif
Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1993), 47.
[6]
Asmaran As, MA., Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994), 288.
[7] Ahmadi Isa,
MA., loc.cit.,
[8] Imam
al-Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, (Surabaya: Risalah
Gusti, 1997), 493-494.
[9] Ahmadi Isa,
MA., op.cit., 40.
[10] Ibrahim anis,
dkk. Al- mu’jam al- wasit (Kairo: Dar al- fikr, 1972)
[11] Abudin Nata, Akhlak
Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 231.
[12]Riva’y Siregar,
Tasawuf dan Sufisme Klasik ke Neosufism, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999), 197.
[13]
Imam al-Qusyairy an-Naisabury, op.cit., 39.
[14] Riva’y
Siregar, op.cit., 146.
[15]
Syathahat ialah kata-kata yang penuh khayal, yang tidak dapat dipegangi dan
dikenakan hukum. Karena orang yang berkata pada waktu itu sedang “mabuk” (bukan
mabuk alkohol). Mabuk oleh fananya, oleh tiada sadar pada diri lagi sebab
tenggelam dalam lautan tafakkur. Sebab itu, beliaulah yang mula-mula sekali
menciptakan suatu istilah dalam tasawuf yang bernama “as-Sakar” artinya mabuk,
“al-Isyq”, artinya rindu dendam (lihat Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan
Pemurniannya)
[16]
Moh. Saifullah al-Azis S, Risalah Memahami Tasawuf, (Surabaya: Terbit
Terang, 1998), 210.
[17] Riva’y
Siregar, op.cit.,148.
[18] Yusran Asmuni,
Pertumbuhan dan Perkembangan Berfikir dalam Islam, al-Ikhlas, (Surabaya:
tp, 2001), 158.
[19] Mustafa Zahri,
Kunci Memahami Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), cet.1, 234.
[20] Mustafa Zahri,
Kunci Memahami Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), 236.
[21] Hamka, Tasawuf
dan Perkembangannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 94.
[22] Abudin Nata, Akhlak
Tasawuf, (Jakarta: Raja Wali Pres, 2002), 235.
[23]
Secara bahasa, kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan yang
berarti mencintai secara mendalam atau kecintaan yang sangat mendalam.(lihat
Abuddin Nata, 208). Mahabbah dalam hal
ini, merujuk pada aliran dalam tasawuf yang objeknya ditujukan pada Tuhan.
(Abuddin Nata, 209. Lihat juga Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya,
319). Mahabbah merupakan keadaan mental
yang membawa manusia merasa senang, perasaan sedih, perasaan takut, dan
sebagainya. Secara garis besar, Harun Nasution menjabarkan beberapa definisi
singkat mahabbah, sebagai berikut. ( Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme
dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1983)). 70.
1.
Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap-sikap yang melawan-Nya.
2.
Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3.
Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.
Dalam
mahabbah, terdapat juga tingkatan-tingkatan berdasarkan tingkatan manusia yang
menganutnya. Beberapa literatur menyebutkan, ada 3 tingkatan mahabbah, ( Lihat
M. Alfatih Suryadilaga et.al., 119, Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya,
319, Abuddin Nata, 209-210, dan M. Sholihin et.al., 195). yaitu cinta orang biasa, cinta orang yang
siddiq, dan cinta orang yang arif. Pada mahabbah tingkat pertama, yaitu cinta
orang biasa, yang dimaksud ialah selalu mengingat Tuhan dengan berdzikir,
menyebut nama Allah dan senantiasa memperoleh kesenangan dalam berdialog dan
memuji Tuhan. Tingkatan yang kedua, ialah cinta orang yang siddiq, yaitu orang
yang telah mengenal Tuhannya. Berturut-turut kemudian mengenal kebesaranNya,
kekuasaanNya, ilmuNya, dan seterusnya. Pada tingkatan kedua ini, perasaan
mahabbah kepadaNya dapat menghilangkan sekat-sekat yang memisahkan diri antara
manusia dan Tuhan. Seseorang yang berada pada tingkat ini, sanggup membuatnya
untuk menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, hatinya hanya diisi
dengan perasaan cinta dan rindu kepada Tuhan. Dengan demikian, manusia itu
dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Apa yang disebutkan
Al-Ghazali mengenai ma’rifat, pada hakikatnya sama dengan mahabbah tingkat
kedua ini. Jadi, kedudukan mahabbah lebih tinggi daripada ma’rifat, karena
mahabbah yang ‚sesungguhnya‛ ialah mahabbah pada tingkatan yang ketiga, yaitu
cinta orang yang arif, orang yang benar-benar telah mengenal Tuhan dengan baik.
Tuhan, dalam hal ini dirasakan sebagai hal yang dicintai oleh penganutnya.
Sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) telah masuk kedalam diri yang mencintai. Ketiga
tingkatan tersebut menunjukkan proses-proses cinta seseorang kepada Tuhannya.
Analisis singkat mengenai ketiga tingkatan-tingkatan itu ialah dari proses awal
(cinta biasa), seseorang telah mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebutNya
melalui dzikir, kemudian meningkat dengan meleburnya diri (fana) pada
sifat-sifat Tuhan, dan berlanjut menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari
ketiga tingkatan itu, tingkatan cinta yang terakhir ialah yang dituju oleh
mahabbah. Keadaan jiwa yang mencintai Tuhan dengan sepenuh hati itulah yang
menyebabkan sifat-sifat yang dicintai (yaitu Tuhan) masuk kedalam diri yang
dicintai. Tujuannya ialah memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan
dengan kata-kata, yang dapat merasakan hanyalah jiwa.
[24] Ibid…, 238.