KAIDAH-KAIDAH TAFSIR AL-QUR’AN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an[1]
merupakan kitab suci yang dijadikan pedoman paling utama oleh umat Islam, baik
dalam syari’ah, mu’amalah, maupun pedoman umat Islam yang lainnya. Untuk itulah
semua umat Islam diwajibkan untuk mempelajarinya agar hidupnya tidak tersesat.
Namun tidak cukup mudah untuk mempelajari dan memahami isi dari ayat-ayat umat
Islam tersebut, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk bahasa arab sehingga
membutuhkan seseorang (guru) yang kompeten dibidangnya dari segi qiro’ahnya,
nahwu sorobnya, tafsirnya, maupun yang laiannya.Sangat banyak sekali ilmu-ilmu untuk
mempelajari al-Qur’an, namun pada pembahasan makalah ini akan terfokus pada
wilayah kaidah-kaidah tafsir Al-Qur’an yang secara terperinci akan dijelaskan
di bab II.
Seseorang yang bisa menjadi mufassir
harus benar-benar berkompeten dalam hal-hal yang berhubungan dengan penafsiran,
seperti retorika bahasa dan lain sebagainya. Selain itu, Sebelum dan ketika
menafsirkan Al-Qur’an, seorang mufassir harus memiliki keperibadian yang
terpuji (kualifikasi etik mufassir), yang sudah ditentukan dan disepakati oleh
ulama terdahulu. Diantara keperibadian yang harus dipenuhi oleh seorang
mufassir, dia harus benar akidahnya dan komitmen terhadap sunnah agama, didalam
hatinya tidak terihat kesombongan, cinta dunia, gemar melakukan dosa,
Menafsirkan Al-Qur’an untuk menetapkan madhhab yang rusak dengan menjadikan
madhhab tersebut sebagai landasan, sementara tafsir mengikutinya. dan hal-hal lain yang bisa merusak muruahnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Prasarat atau Etika
Mufassir Al-Qur’an
Untuk mengawali pembahasan ini akan
disuguhkan tentang pengertian prasarat atau etika mufassir. Yang dimaksud
dengan prasarat prasarat mufassir adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyah yang
harus dimiliki oleh seorang mufassir agar layak untuk mengemban amanah dalam
menyingkap dan menjelaskan suatu hakikat kepada orang yang tidak mengetahuinya.
Para ulama terdahulu, al-salaf al-salih, mengartikulasikan aspek ini
sebagai adab-adab seorang alim.[2]
Imam Abu Talib al-Tabary– seperti
yang dikutip oleh Khālid Abd al-Rahmān– mengatakan di
bagian awal tafsirnya mengenai adab-adab seorang mufassir,
"Ketahuilah bahwa di antara syarat mufassir yang pertama kali
adalah benar akidahnya dan komitmen terhadap sunnah agama. Sebab, orang yang
tertuduh dalam agamanya yang tidak dapat dipercaya dalam urusan duniawi, maka
bagaimana dalam urusan agama? Kemudian ia tidak dipercaya dalam agama untuk
meriwayatkan dari seorang alim, maka bagaimana ia dapat dipercaya untuk
memberitahukan rahasia-rahasia Allah ta'ala? Sebab ia tidak dipercaya
apabila tertuduh sebagai atheis dan ia cenderung akan mencari-cari kekacauan
serta menipu manusia dengan kelicikan dan tipu dayanya seperti kebiasaan sekte Batiniyah
dan sekte Rafidah ekstrim. Apabila seseorang tertuduh sebagai pengikut
hawa nafsu, ia tetap tidak dapat dipercaya karena akan menafsirkan Al-Qur’an
berdasarkan hawa nafsunya agar sesuai dengan bid'ahnya seperti kebiasaan sekte Qadariyah.
Salah seorang di antara mereka menyusun kitab dalam tafsir dengan maksud
sebagai penjelasan paham mereka dan untuk menghalangi umat dari mengikuti salaf
dan komitmen terhadap jalan petunjuk".[3]
Sedangkan Imam al-Zarkazy
mengatakan:
“Ketahuilah bahwa seseorang tidak dapat memahami makna wahyu dan
tidak akan terlihat olehnya rahasia-rahasianya apabila di dalam hatinya
terdapat bid'ah, kesombongan, hawa nafsu, atau cinta dunia, atau gemar
melakukan dosa, atau lemah iman, atau bersandar pada pendapat seorang mufassir
yang tidak memiliki ilmu, atau merujuk kepada akalnya. Semua ini merupakan
penutup dan penghalang yang sebagiannya lebih kuat daripada sebagian lainnya.[4]
Melihat apa yang disampaikan oleh al-Zarkazy
di atas, al-Suyūty mengomentari: "Saya katakan, inilah makna firman Allah ta'ala,
"سَأَصْرِفُ عَنْ
ءَايَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ ..."
Aku akan memalingkan orang-orang
yang menyombongkan dirinya di muka bumitanpa alasan yang benar dari tanda-tanda
kekuasaan-Ku.
Mengutib perkataan dari Sufyān bin
'Uyainah yang mengatakan bahwa: Para ulama mengatakan bahwa maksud ayat di atas
adalah dicabut dari mereka pemahaman mengenai Al-Qur’an. Diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Hatim.[5]
Berdasarkan perkataan Imam As-Suyuty
di atas, Ahmad Bazawy Al-Dāwy meringkaskan
sejumlah adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu:
1.
Akidah yang
lurus
2.
Terbebas dari
hawa nafsu
3.
Niat yang baik
4.
Akhlak yang
baik
5.
Tawadhu' dan
lemah lembut
6.
Bersikap zuhud
terhadap dunia hingga perbuatannya ikhlas semata-mata karena Allah ta'ala
7.
Memperlihatkan
taubat dan ketaatan terhadap perkara-perkara syara' serta sikap menghindar dari
perkara-perkara yang dilarang
8.
Tidak bersandar
pada ahli bid'ah dan kesesatan dalam menafsirkan
9.
Bisa dipastikan
bahwa ia tidak tunduk kepada akalnya dan menjadikan Kitab Allah sebagai pemimpin yang diikuti.[6]
Sedangkan Manna' Al-Qattan
menyebutkan sebelas etika yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu:
1.
Berniat baik
dan bertujuan benar
2.
Berakhlak baik
3.
Taat dan
beramal
4.
Berlaku jujur
dan teliti dalam penukilan
5.
Tawadu' dan
lemah lembut
6.
Berjiwa mulia
7.
Vokal dalam
menyampaikan kebenaran
8.
Berpenampilan
baik (berwibawa dan terhormat)
9.
Bersikap tenang
dan mantap
10.
Mendahulukan
orang yang lebih utama daripada dirinya
11.
Mempersiapkan
dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik[7]
Dari penjelasan di atas etika
mufassir tersebut besifat umum seperti, barakhlak baik, niat yang baik,
terbebas dari hawa nafsu, dan lainnya dan ada yang bersifat khusus seperti,
Tawadhu' dan lemah lembut, Bersikap zuhud terhadap dunia, dan lainnya. Oleh
kedua penulis, Ahmad Bazawy Al-Dāwy dan Manna' Al-Qattan,
etika yang khusus tersebut disebutkan secara tersendiri karena dianggap sangat
penting dan perlu diperhatikan.
Disisi lain juga bersifat penampilan
pribadi (kepribadian) separti, vocal dalam menyampaikan kebenaran,
berpenampilan baik, dan bersikap tenang dan mantap. Hal tersebut perlu
disebutkan secara khusus, karena menafsirkan Al-Qur’an berbeda dengan memahami
Al-Qur’an. Memahami Al-Qur’an hanya bersifat internal, untuk konsumsi sendiri.
Sedangkan menafsirkan Al-Qur’an selain bersifat internal–untuk kosumsi
sendiri–juga bersifat eksternal, artinya seorang mufassir dalam menafsirkan
Al-Qur’an tidak hanya untuk konsumsi sendiri, tetapi juga untuk konsumsi masyarakat
umum sehingga etika yang hanya besifat "kepribadian" perlu dimiliki
supaya hasil tafsirnya lebih cepat diterma.[8]
Selain itu juga ada beberapa hal
yang wajib dihindari mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an, perkara-perkara tersebut
adalah:
1.
Terlalu berani
menjelaskan maksud Allah ta'ala dalam firman-Nya padahal tidak
mengetahui tata bahasa dan pokok-pokok syariat serta tidak terpenuhi ilmu-ilmu
yang baru boleh menafsirkan jika menguasainya.
2.
Terlalu jauh
membicarakan perkara yang hanya diketahui oleh Allah, seperti perkara-perkara mutashabihat.
Seorang mufassir tidak boleh terlalu berani membicarakan sesuatu yang ghaib
setelah Allah ta'ala menjadikannya sebagai salah satu rahasia-Nya dan hujjah
atas hamba-hamba-Nya.
3.
Mengikuti hawa
nafsu dan anggapan baik (istihsan).
4.
Menafsirkan
Al-Qur’an untuk menetapkan madhhab yang rusak dengan menjadikan madhhab
tersebut sebagai landasan, sementara tafsir mengikutinya. Akibatnya, seseorang
akan melakukan takwil sehingga memalingkan makna ayat sesuai dengan akidahnya
dan mengembalikannya pada madhhabnya dengan segala cara.
5.
Menafsirkan
Al-Qur’an dengan memastikan bahwa maksud Allah begini dan begitu tanpa landasan
dalil. Perbuatan ini dilarang secara syar'i berdasarkan firman Allah ta'ala,
"...وَأَنْ
تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ"
Dan (janganlah) mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian
ketahu.[9]
Lebih terperinci Ahmad Bazawy dalam
bukunya “Shuruth al-Mufassir wa Adabuhu” menjelaskan bahwa syarat
mufassir secara umum terbagi menjadi dua aspek (aspek pengetahuan dan aspek
kepribadian)[10]
Aspek pengetahuan meliputi:
1.
Mengetahui dan
memahami bahasa Arab dan ketentuan-ketentuannya(ilmu nahwu dan sharaf).
Pemahaman seorang mufassir terhadap bahasa Arab harus dimiliki, karena
Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk bahasa Arab.
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& $ºRºuäöè% $wÎ/ttã öNä3¯=yè©9 cqè=É)÷ès?
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al
Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”.
ôs)s9ur ãNn=÷ètR óOßg¯Rr& cqä9qà)t $yJ¯RÎ) ¼çmßJÏk=yèã Öt±o0 3 Üc$|¡Ïj9 Ï%©!$# crßÅsù=ã Ïmøs9Î) @ÏJyfôãr& #x»ydur îb$|¡Ï9 ?Î1ttã êúüÎ7B
“Dan Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata:
"Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya
(Muhammad)". Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad
belajar kepadanya bahasa 'Ajam[11],
sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang”.
2.
Mengetahui ilmu
balaghah (ma’any, bayan, badi’)
Kaitan ilmu
balaghah dalam mentafsirkan Al-Qur’an kerana kajiannya yang berkaitan dengan
nilai-nilai kesusastraan dan keindahan yang melekat pada ayat-ayat Al-Qur’an
yang dikenal dengan Balaghat al-Qur’an. Namun ilmu balaghah ini dapat
diperinci menjadi tiga, yakni: ma’any, bayan, dan badi’. Adapaun pengertiannya
Ma’any adalah ketentuan-ketentuan pokok dan kaidah-kaidah yang dengannya
diketahui ihwal keadaan kalimat Arab yang sesuai dengan keadaan dan relevan
dengan tujuan pengungkapannya. Ilmu Bayan (yang membahas segi makna lafal yang
beragam) adalah beberapa ketentuan pokok dan kaidah yang denganya dapat
diketahui penyampaian makna yang satu dengan berbagai ungkapan, namun terdapat
perbedaan kejelasan makna antara satu ungkapan dengan ungkapan lainnya yang
beragam tersebut. Dan yang berikutnya ilmu badi’ adalah ilmu yang membahas
tentang keindahan kalimat arab (Ilmu Badi’ adalah suatu ilmu yang dengannya
dapat diketahui bentuk-bentuk dan keutamaan-keutamaan yang dapat menambah nilai
keindahan dan estetika suatu ungkapan, membungkusnya dengan bungkus yang dapat
memperbagus dan mempermolek ungkapan itu,disamping relevansinya dengan tuntutan
keadaan.
3.
Mengatahui
Ushul Fiqih
Sudah
menjadi kesepakatan para ulama bahwa ushul fiqih merupakan salah satu
sarana untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaiman yang dikehendaki oleh
Allah dan rasul-Nya, baik yang berkaitan dengan maslah aqidah, ibadah,
mu’amalah, ‘uqubah maupun akhlak yang bersumber dari al-Qur’an[12].
Sehingga dengan demikian ushul fiqih sangat membantu bagi mufassir untuk
memahami pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an, khusunya yang berkaitan
dengan hukum.
4.
Mengetahui
Asbab al-Nuzul.
Tidak semua
ayat Al-Qur’an mempunyai asbab al-nuzul, akan tetapi sangat perlu untuk
mengetahui latar belakang suatu ayat dari ayat-ayat yang memiliki asbab
al-nuzul untuk memahami makna dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam
ayat-ayat yang belum bisa dipahami tanpa mengetahui asbab al-nuzulnya terlebih
dahulu.
5.
Mengetahi
tentang Nasakh dan Mansukh.
Karena Al-Qur’an
diturunka secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya,
seperti ayat yang menjelaskan hokum dari komer. Darisini dapat dipahami bahwa
seorang mufassir juga harus memahami tentang nasakh dan mansukh. Lebih jelasnya
akan dijelaskan pada bagian pembahasan tentang ragam kaidah-kaidah tafsir
Al-Qur’an di bawah ini.
B.
Ragam Kaidah
Tafsir Al-Qur’an
Melakukan
penafsiran Al-Qur’an bukanlah hal sangat mudah, jika penafsiran tersebut
tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir maka perbuatan tersebut dapat
duhukumi sesat[13].
Namun belum ada referensi yang sangat jelas dalam membahas kaidah-kaidah tafsir
Al-Qur’an, padahal kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur’an merukan hal yang sang
urgen dalam memahami teks Al-Qur’an agar tidak terjadi kesalahan dalam
penafsiran yang dilakukan seorang mufassir, jika hal itu terjadi sangat fatal
akibatnya padda umat Islam. Sebab Al-Qur’an merupakn pedoman pokok bagi seluruh
umat Islam.
Al-Qur’an
adalah satu-satunya Kitab Suci yang hidup, karena bukan hanya memperkenalkan
apa, siapa dan bagaimana dirinya, dari mana asalnya dan apa isinya saja,
melainkan pula menjelaskan tuntas bagaimana cara memahami atau
menafsirkannya. Ada dua macam petunjuk dalam penafsiran Al-Qur’an, yaitu petunjuk
tak langsung (indirect) dan petunjuk langsung (direct). Menurut
R. Soedewo, Al-Qur’an terdiri dari tiga bagian , yang mana itu merupakan
petunjuk tak langsung, yaitu : (1) Ayat tunggal Bismillahhir-rahmanir-rahim,
sebagai inti dari saripatinya Al-Qur’an, (2) Al-Fatihah, sebagai
saripatinya Al-Qur’an, dan (3) Al-Qur’annya sendiri yang terdiri
dari 113 surat, yakni surat no. 2 Al-Baqarah (Sapi Betina) sampai No. 114
An-Nas (manusia). Sedang petunjuk langsungnya dinyatakan dalam ayat 3:7 di
atas.
Petunjuk langsung
Menurut
Ahmad Izzan beberapa kaidah-kaidah tafsir Al-Qur’an yang harus dijadikan
pedoman seorang mufassir adalah sebagai berikut[14]:
Pertama, tentang
macam-macam ayat. Berkenaan dengan tafsir menafsirkan ayat Quran Suci
dibedakan menjadi dua macam saja, yatu : (1) Muhkhamat, bersifat
menentukan, yakni ayat yang artinya tak berubah dan tak berganti/ kata muhkamat
berasal dari kata hakama artinya mencegah, lalu dari kata ini
digubah menjadi ahkama artinya (membuat sesuatu menjadi kuat
atau stabil) sebagaimana diterangkan dalam ayat 11:1 bahwa Al-Qur’an
itu ”kitabun uhkimat ayatuhu (Kitab yang ayat-ayatnya bersifat
menentukan.” (2) Mutasyabihat, bersifat ibarat, yakni ayat
yang dapat ditafsirkan bermacam-macam, sebagaimana dinyatakan dalam ayat 39: 23
bahwa Al-Qur’an itu ”kitaban mutasyabikan matsani (sebuah Kitab
yang bagian-bagiannya berhubungan erat satu sama lain, yang perintahnya
berkali-kali diulang). Kata mutasyabihat (dari kata syibh artinya
menyerupai atau mirip) makna aslinya apa yang dalam beberapa bagian serupa atau
mirip; oleh sebab itu dapat ditafsirkan bermacam-macam.
Kedua, sumber tafsir.
Menurut H.M. Ghulam Ahmad, rasihuna fil’ilmi (orang yang kuat ilmunya)
pada zaman akhir ini dalam bukunya Barakatud – Du’a sumber tafsir Al-Qur’an
ada 7 macam, yaitu:
- Al-Qur’an itu sendiri. Tafsirul-qur’an bil-qur’an. Caranya : secara tekstual, suatu hal yang sama hanya disinggung dalam suatu ayat diuraikan panjang lebar di ayat yang lain. Secara kontekstual, baik konteks sastranya maupun sejarahnya. Dalam konteks sastra lihat ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, sedang dalam konteks sejarahnya lihat budaya setempat dan asbabun-nuzulnya. Secara kontentual, lihat isi atau tema Suratnya dan jika perlu kepada induknya, Ummul-Kitab (Al-Fatihah). Adapun contoh ayat yang ditafsiri dengan ayat lainya diantaranya adalah surat al-maidah, 5:1 ditafsiri oleh surat al-maidah, 5:3.[15]
- Hadits Nabi. Jika tak menemukan tafsir dalam Al-Qur’an carilah dalam Hadits Nabi, karena Nabi Suci adalah orang yang menerima langsung dan yang paling tahu akan makna suatu ayat. Hal tersebut di jelaskan olah Allah dalam Al-Qur’an pada surat An.Nahl, 16:44.
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan
kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[16]
dan supaya mereka memikirkan”.
- Atsar Sahabat. Penjelasan para sahabat Nabi adalah sumber tafsir setelah Hadits, karena mereka yang telah menghayati dan mendapat pendidikan langsung dari Nabi Suci bagaimana memahami dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an. Atsar sahabat ini juga diperjelas dalam Al-Qur’an
cqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûïÌÉf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î/ Å̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã £tãr&ur öNçlm; ;M»¨Zy_ Ìôfs? $ygtFøtrB ã»yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz !$pkÏù #Yt/r& 4 y7Ï9ºs ãöqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$#
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun
ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar”.
s)©9 U$¨? ª!$# n?tã ÄcÓÉ<¨Z9$# úïÌÉf»ygßJø9$#ur Í$|ÁRF{$#ur úïÏ%©!$# çnqãèt7¨?$# Îû Ïptã$y Íotó¡ãèø9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB y$2 à÷Ìt Ü>qè=è% 9,Ìsù óOßg÷YÏiB ¢OèO z>$s? óOÎgøn=tæ 4 ¼çm¯RÎ) óOÎgÎ/ Ô$râäu ÒOÏm§
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat
Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa
kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah
menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada mereka,
- Hati Nurani. Antara hati nurani murni pembicara dengan Al-Qur’an terdapat hubungan mistis yang luas biasa eratnya, karena seperti dinyatakan dalam ayat 30:30 Islam adalah fitraf Allah dan manusia diciptakan atas fitrah itu, maka Islam disebut agama fitrah.
- Bahasa Arab dengan kaidah-kaidahnya, seperti kamus, nahu, sharf, manthiq, ma’ami, dll. Tetapi beliau menyatakan jangan terlalu terpukau di sini, karena Al-Qur’an memiliki cara tersendiri untuk memahaminya.
- Sunnatullah di alam kasar. Berulangkali Al-Qur’an menganjurkan pembacanya agar memperhatikan sunnatullah di alam kasar, karena ada keselarasan dengan sunnatullah di alam rohani.
- Ilham, kasyaf dan ru’ya orang Suci, para mujaddid dan mujtahid. Mereka adalah muthahharun (orang-orang yang disucikan) yang dapat menyentuh.” Al-Qur’an (56:77-80).
Ketiga, dalam
menafsirkan ayat mutasyabihat jangan sekali-kali bertentangan dengan ayat
mukhamat, yang menurut ayat Suci di atas adalah ”landasan Kitab”. Maksudnya,
pokok asasi agama atau kaidah-kaidah agama itu didasarkan atas ayat-ayat
muhkamat. Jika didasarkan ayat mutasyabihat manusia tersesat dari jalan yang
benar, misalnya doktrin Kristen tentang ketuhanan Isa Almasih (9:30).
Keempat, hal-hal yang zhanni
(samar-samar) tak boleh bertentangan dengan yang qath’i
(pasti). Demikian pula ayat-ayat yang bersifat khusus, harus dihubungkan
dan ditundukkan kepada ayat yang bersifat umum.
Kaidah
tafsir tersebut adalah yang paling lengkap diantara kaidah tafsir yang ada,
karena mencakup berbagai aspek kehidupan keagamaan
umat yang sifatnya akliah, ilmiah, sifiyah dan rohaniah selaras dengan
fitrah seutuhnya.
C.
Signifikansi Penguasaan
Terhadap Kaidah-Kaidah Tafsir Al-Qur’an
Melihat betapa urgennya
kaidah-kaidah dalam menafsirkan Al-Qur’an dan dapat dihukumi sesat bagi mufassir
yang melakukan kesalahan dalam penafsirannya jika tidak melihat kaidah-kaidah
tafsir Al-Qur’an tersebut. Maka dapat disimpulakan bahwa seorang mufassir tidak
cukup hanya memiliki syarat atau etika sebagai mufassir, melaikan juga harus
memahami dan menguasai kaidah-kaidah tafsir Al-Qur’an agar dalam menafsirkan Al-Qur’an
mampu mempertanggung jawabkan dan tidak tersesatkan dalam memahami isi dari
ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.
Untuk
menekuni bidang tafsir, seperti ulasan di atas, seseorang memerlukan beberapa
ilmu bantu, diantaranya kaidah-kaidah tafsir. Kaidah ini sangat membantu para
mufassir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Alat bantu lainnya adalah
pengetahuan bahasa Arab, karena Al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa
tersebut. Selain itu perlu memahami ilmu ushul fiqh. Dengan ilmu ini, seorang
mufassir akan memperoleh kemudahan dalam menangkap pesan-pesan Al-Qur’an. Ibn
‘Abbas, yang dinilai sebagai seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud
firman-firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama,
yang dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan
bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak
mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; keempat,
yang tidak diketahui kecuali oleh Allah[17].
Harus digaris bawahi pula bahwa penjelasan-penjelasan Nabi tentang arti
ayat-ayat Al-Qur’an tidak banyak yang kita ketahui dewasa ini, bukan saja
karena riwayat-riwayat yang diterima oleh generasi-generasi setelah beliau
tidak banyak dan sebagiannya tidak dapat dipertanggung jawabkan otentisitasnya,
tetapi juga “karena Nabi saw. Sendiri tidak semua menafsirkan ayat
Al-Qur’an”[18]
Sehingga tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk memahami ayat-ayat
Al-Qur’an berdasarkan kaidah-kaidah disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan
kemampuan, setelah masing-masing memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu[19].
D.
Dependen dan Independensi
terhadap Kaidah Penafsiran Al-Qur’an
Pada sub bab ini masih banyak
mengandung tanda tanya apa yang nantinya
akan menjadi focus bahasannya. Namun pada makalah ini, pemakalah akan mencoba
memfokuskan pembahasannya pada pengaruh dependen dan independensi penguasaannya
kaidah tafsir seorang mufassir terhadap hasil tafsirnya.
Dependen
Seperti yang sudah dijelaskan di
atas bahwa, sangat jelas nilai negatifnya jika mufassir dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an tidak memperhatikan kaidah-kaidah tafsir Al-Qur’an, bahkan
bisa dihukumi sesat bagi mufassir yang mengabaikan kaidah-kaidah tersebut. Dari
sini dapat ditarik benang merah bahwa sikap dependen mufassir terhadap kaidah
tafsir menjadi keharusan dan sangat
besar pengaruhnya terhadap kualitas tafsirnya dan dapat dipertanggung jawabkan.
Independensi.
Apakah dampak jika mufassir tidak
memenuhi ilmu-ilmu dan kaidah tafsir al-qur’an? Inilah kiranya pertanyaan
mendasar yang patut untuk dilontarkan. Sebab jelas sangat fatal akibatnya jika
salah satu dari ilmu-ilmu maupun kaidah tafsir al-qur’an tidak dipenuhi oleh
mufassir. Kita ambil contoh misalnya penguasaan terhadap asbabu
al-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) dan nasikh dan masukh. pertama bagi urgensi asbabu al-nuzul,
‘Uthman ibn Madh’un dan ‘Amru ibn Ma’diyakrib berpendapat bahwa
meminum khamr hukumnya boleh dengan dalih ayat 93 surat al-Ma`idah[20].
Seandainya mereka mengetahui sebab turunnya ayat tersebut, niscaya mereka tidak
akan berpendapat begitu, karena ayat tersebut turun pada saat khamr
diharamkan orang-orang bertanya-tanya, “Bagaimana dengan mereka yang berperang
di jalan Allah dan meninggal, sementara mereka meminum khamr yang mana
ia merupakan perbuatan keji?” Lalu turunlah ayat tersebut.[21]
Dari uraian di atas, sikap independensi (yang maksudnya tidak memenuhi
prasarat mufasiri ataupun tidak mengindahkan kaidah tafsir) mufassir
dikawatirkan justru mengurangi kualitas tafsirnya dan bahkan bisa menyesatkan
karena kesalahpahaman penafsiran.
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa para mufassir
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an haruslah memenuhi dan memahami
sarat-sarat sebagai mufassir dan kaidah-kaidah tafsir serta ilmu-ilmu tafsir Al-Qur’an
lainnya. Sebab Al-Qur’an yang diturunkan dalam bentuk bahasa arab dan kaya akan
makna kandungannya dari ayat-ayatnya yang selalu hidup, sehingga tidak mudah
untuk dipahami dalam kontek kekinian sebagai pedoman hidup umat Islam yang
terus berkembang, bukan berarti Al-Qur’an tidak dapat dipahami, melainkan
memerlukan perangkat-perangkat (ilmu Al-Qur’an) untuk memudahkan memahaminya
agar tidak terjadi kesalahan dalam menafsirkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ak (al), Khālid Abd
al-Rahmān, Usūl al-Tafsīr wa Qawā'iduh, Bairut: Dār al-Nafāis,
1986.
Asanī (al), Muhammad ibn ‘Alwī
al-Mālikī, Zubdah al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur`ān, tp, th,.
Anwar, Rosikhon,
Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2006, Cet. III.
Dāwy (al), Ahmad Bazawy, Syurūt
Al-Mufassir wa Ādābuh, dalam http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245, diakses pada 21 Oktober
2010.
Dhahaby (al), Muhammad
Husain, 'Ilm al-Tafsir , Kairo: Dar al-Ma'arif, th,.
Izzan, Ahmad, Metodologi
Ilmu Tafsir, th,.
Jafar , Mochammadin, Kaidah Tafsir Al-Qur’an, Tanpa Kategori, 24
Desember 2011
Qattan (al), Manna' Khalil, Mabahith fi 'Ulum al-Qur’an, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000.
Rowi, Roem, disampaikan dalam kuliah mata
kuliah studi Al-Qur’an, (IAIN Sunan Ampel: jurusan tafsir hadis), 06, November,
2010, dikutip dari makalah.
Suyyuty (al), Jalāl al-Din, al-Itqan
fi 'Ulum al-Qur’an. Juz II, Bairut: Dār al-Fikr, 1996.
Shafe’I, Rahmat. Ilmu ushul Fiqih,
Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999,
Shihab, M. Quraish, Tafsîr
al-Mishbâh Vol.I, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Zahaby (al),
Muhammad Husain, Al- Tafsir, Kairo: Darul Hadist, 2005.
Zarkazy (al), Muhammad ibn Abd Allah, al-Burhān
fi 'Ulūm al-Qur’ān. Juz II. Kairo: Dār al-Turāth, th,.
[1] Al-Qur'an,
sebagaimana didefinisikan ulama ushul, ulama fiqih, dan ulama bahasa adalah
kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya (Muhammad SAW) yang
lafazh-lafazhnya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah,
diturunkan secara mutawatir, dan ditulis pada muskhaf, mulai dari awal surat
Al-Fatihah samapi akhir surat An-Nas, Lihat Rosikhon Anwar, Ulumul Qur’an,(Bandung:
Pustaka Setia, 2006), Cet, III, 11
[4]Muhammad ibn Abd Allah al-Zarkazy, al-Burhān fi 'Ulūm
al-Qur’ān. Juz II. (Kairo: Dār al-Turāth), 180-181
[5]Jalāl al-Din al-Suyyuty, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur’an.
Juz II, (Bairut: Dār al-Fikr, 1996), 479
[6]Ahmad Bazawy Al-Dāwy, Syurūt Al-Mufassir wa Ādābuh,
dalam http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245, diakses pada 21 Oktober
2010.
[7]Manna' Khalil al-Qattan, Mabahith fi 'Ulum al-Qur’an
(Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 323-324.
[8]M.
Roem Rowi, disampaikan dalam kuliah mata kuliah studi Al-Qur’a>n, (IAIN Sunan
Ampel: jurusan tafsir hadis regular semester satu), 06, November, 2010
[10] Ahmad Bazawy
adh-dhawy, Shuruth al-Mufassir wa Adabuhu” dalam http://syababmuslim.multiply.com/jurnal/item/(7 Oktober 2011), 1.
[11] Bahasa
'Ajam ialah bahasa selain bahasa Arab dan dapat juga berarti bahasa Arab yang
tidak baik, karena orang yang dituduh mengajar Muhammad itu bukan orang Arab
dan hanya tahu sedikit-sedikit bahasa Arab.
[12] Rahmat Shafe’i. Ilmu
ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), 24.
[13] Rapat
Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia (Rakernas MUI) di Jakarta tgl 6 November
2007 memutuskan Sepuluh Kriteria Sesat. Seseorang atau segolongan orang
dinyatakan sesat atau menyimpang dari jalan yang benar. Kaidah tafsir
al-Qur’an.(23 Desember 2011).
[14] Ahmad Izzan, Metodologi
Ilmu Tafsir, 123-129.
[15] $ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& Ïqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJÍku5 ÉO»yè÷RF{$# wÎ) $tB 4n=÷Fã öNä3øn=tæ uöxî Ìj?ÏtèC Ïø¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB ßÌã ÇÊÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. Dihalalkan bagimu
binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
[388]
Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian
yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ èps)ÏZy÷ZßJø9$#ur äosqè%öqyJø9$#ur èptÏjutIßJø9$#ur èpysÏܨZ9$#ur !$tBur @x.r& ßìç7¡¡9$# wÎ) $tB ÷Läêø©.s $tBur yxÎ/è n?tã É=ÝÁZ9$# br&ur (#qßJÅ¡ø)tFó¡s? ÉO»s9øF{$$Î/ 4 öNä3Ï9ºs î,ó¡Ïù 3 tPöquø9$# }§Í³t tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. `ÏB öNä3ÏZÏ xsù öNèdöqt±ørB Èböqt±÷z$#ur 4 tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYÏ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYÏ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$# Îû >p|ÁuKøxC uöxî 7#ÏR$yftGãB 5OøO\b} ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÈ
Artinya:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang
jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib dengan
anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini[397] orang-orang kafir telah
putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada
mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa
sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[394]
Ialah: darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam surat Al An-aam
ayat 145.
[395]
Maksudnya Ialah: binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang
ditanduk dan yang diterkam binatang buas adalah halal kalau sempat disembelih
sebelum mati.
[396] Al
Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah
menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan Apakah mereka
akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya Ialah: mereka ambil tiga
buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah ditulis masing-masing Yaitu
dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa,
diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. bila mereka hendak
melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru kunci ka'bah mengambil sebuah
anak panah itu. Terserahlah nanti Apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan
sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. kalau yang terambil
anak panah yang tidak ada tulisannya, Maka undian diulang sekali lagi.
[397]
Yang dimaksud dengan hari Ialah: masa, Yaitu: masa haji wada', haji terakhir
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w.
[398]
Maksudnya: dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh ayat ini jika
terpaksa.
[16] Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain
yang terdapat dalam Al Quran.
[17] Al-Zarkasyi, op. cit.
164.
[18] Muhammad Husain
al-Zahaby, Al- Tafsir, (Kairo: Darul Hadist, 2005), 6.
[20] }§øs9 n?tã úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# Óy$uZã_ $yJÏù (#þqßJÏèsÛ #sÎ) $tB (#qs)¨?$# (#qãZtB#uä¨r (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# §NèO (#qs)¨?$# (#qãZtB#uä¨r §NèO (#qs)¨?$# (#qãZ|¡ômr&¨r 3 ª!$#ur =Ïtä tûüÏYÅ¡ósçRùQ$# ÇÒÌÈ
Artinya:
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh
karena memakan makanan yang telah mereka Makan dahulu, apabila mereka bertakwa
serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap
bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat
kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
[21]Muammad ibn ‘Alwī al-Mālikī al-asanī, Zubdah al-Itqān
fī ‘Ulūm al-Qur`ān, 19-20.